Kagaya Sport

Momen Piala Dunia adalah rezeki yang turun bak durian runtuh bagi Hengki Ahmad, sang owner toko Kagaya Sport. Meski gelaran empat tahun sekali itu baru akan dimulai Juni 2014, toko ini sudah menyediakan berbagai kostum peserta event yang tahun ini dilaksanakan di Brasil tersebut, sejak awal tahun.

“Untuk merchandise seperti jersey peserta Piala Dunia sudah ada dan pangsa pasarnya lumayan. Terutama untuk tim-tim besar, seperti tuan rumah Brasil, Belanda, Italia, Spanyol,” ujar pria berusia 43 tahun ini kepada Majalah Inspirasi Usaha. Bahkan, lanjutnya, untuk jersey tim nasional Italia sudah restock, karena peminatnya cukup banyak.

TOSHIBA CAMCORDER

Di Kagaya sendiri, selain jersey tim nasional peserta Piala Dunia, replika bola yang akan dipakai di Brasil juga sudah dijajakan. Sedangkan, merchandise lainnya seperti syal, gantungan kunci, stiker, topi dan pernak pernik Piala Dunia lainnya akan menyusul mendekati hari H perhelatan akbar tersebut. “Karena momen Piala Dunia juga, pembeli kostum klub-klub Eropa ataupun klub lokal Liga Indonesia sudah mulai sepi kecuali untuk klub-klub yang lolos ke semifinal Liga Champions, seperti Chelsea, Bayern Munchen, Real Madrid yang terus masih bagus penjualannya,” ungkapnya.

Untuk memenuhi kebutuhan stock merchandise Piala Dunia, Hengki mengaku menyediakan budget khusus yang lebih banyak dibanding hari biasa. Perputaran uangpun meningkat hingga 50 persen. Jika, rata-rata di hari biasa omset usahanya bisa Rp20 jutaan, maka di momen Piala Dunia ini bisa mencapai Rp30jutaan. “Tentu ada anggaran khusus yang ditambah dari hari biasa, karena prediksi saya mengingat momen Piala Dunia sebelumnya, omset bisa naik lima puluh persen. Dan penjualan akan menurun jika sebanyak pada saat persiapan hingga babak penyisihan menuju final. Pembeli akan mengerucut sesuai dengan tim-tim mana saja yang akan masuk semifinal serta final,” ucapnya.

Hengkipun yakin Piala Dunia 2014 bakal lebih meriah lantaran digelar di negri Samba-julukan Brasil, yang notabene adalah negara dengan talenta-talenta apik di lapangan hijau. “Euforianya pasti akan lebih besar. Terutama saat banyak agenda nonton bareng pertandingan piala dunia. Di sini orang akan mengenakan kostum negara yang didukungnya dan produk akan banyak terjual,” timpalnya. Untuk harga barang, di Kagaya Sport dibanderol dari yang termurah Rp35 ribu hingga ratusan ribu.

TOSHIBA CAMCORDER

Menurut pria pemilik klub Gumarang FC dan sekolah sepak bola (SSB) Gumarang ini, jersey adalah produk yang paling banyak lagi, sementara merchandise lainnya hanyalah barang penunjang penjualan. Untuk itu, jauh hari dia sudah berbelanja barang-barang dari ke Bandung, Jakarta serta suplier dari produk China. Saat ini, akunya produk China sudah mulai merambah dan memasuki pasar-pasar dan menyaingi produk Thailand yang terkenal dengan jersey KW grade original. “Kalau untuk barang dari Bandung dan Jakarta kebanyakkan kostum untuk anak-anak usia sepuluh tahun hingga anak remaja, lakunya juga sangat cepat. Hanya saja, yang biasanya kami ambil agen untuk barang Thailand saat ini sudah ada suplier untuk barang dari China. Harganya lebih murah, namun bagi yang sudah biasa memakai kostum bola pasti bisa tahu beda kualitasnya. Jadi kalau untuk barang lokal dari Medan sama sekali enggak ada,” jelasnya. Untuk jersey original, Kayaga tidak punya stok setiap saat, menurutnya stok akan dibeli sesuai pesanan konsumen.

Namun, diakuinya pemenuhan barang-barang untuk jersey 32 peserta Piala Dunia dari Benua Afrika dan Asia sulit didapat. Hanya beberapa tim saja yang punya stok banyak. “Ini pengalaman hampir setiap piala dunia. Sangat kesulitan dapat barang untuk tim Afrika, Asia, bahkan untuk benua Amerika. Hanya banyak itu tim nasional benua Eropa. Seperti Iran, Chile, Ekuador sangat susah sekali dapat stok jersey grade ori, kecuali untuk Korea Selatan di Asia dan Nigera di Afrika, mudah didapat. Dan ini terjadi setiap momen piala dunia. Padahal, terkadang konsumen ini ada saja yang ingin tampil beda dalam memakai dan memilih kostum negara Piala Dunia,” bebernya.

Alumni Fakultas Hukum Universitas Islam Sumatera Utara (UISU) ini menjelaskan bisnis di ranah yang menyentuh dunia olahraga, terkhusus sepak bola sangat dinikmatinya. Tidak hanya menyambut Piala Dunia, Seagames, Asian Games, Pekan Olahraga Nasional (PON) pun dia menyediakan stok lebih. Dia pun yakin akan usaha yang sudah dibangunnya selama 12 tahun ini. Apalagi, sepak bola ibarat sudah mendarah daging baginya.

Hengki menyukai si kulit bundar sejak masa mudanya. Dari hobinya tersebut, dia pun sempat menapaki karir sebagai pesepakbola di klub lokal Medan Bintang Utara. Namun, dia tidak melanjutkannya ke jenjang sepakbola profesional dan memilih meneruskan kuliah di fakultas hukum. Setamat kuliah dia menerima panggilan kerja di perusahaan asing di Jawa Barat. “Entah kenapa saya malah ditempatkan di Subang, kebetulan abang saya manajer di perusahaan asing tersebut. Saya bilang, ingin ditempatkan di Bandung. Lalu abang saya bilang kalau mau di Bandung harus menunggu tiga bulan lagi. Saya katakan oke. Abang saya sempat bilang lalu mau apa selama tiga bulan menunggu. Sayapun memilih menghabiskan waktu menjelajahi perusahaan-perusahaan konveksi di Jawa Barat, ternyata di situlah saya melihat peluangnya sangat bagus. Jawa Barat layaknya sentra untuk memenuhi permintaan provinsi lain,” ungkapnya.

Menangkap peluang, Hengkipun beranikan diri memulai usaha di Jawa Barat. Meski banyak pesaing dia menjadi suplier barang-barang olahraga di enam daerah di sana, seperti Bandung, Karawang, Subang dan lainnya. “Saat ditawari abang saya lagi untuk masuk ke perusahaan asing malah saya tolak, saya bilang mau serius saja di usaha ini. Kemudian saya balik ke Medan dan ikut menawarkan produk olahraga di Pekan Raya Sumatera Utara (PRSU) ternyata banyak yang suka. Akhirnya sudah dua belas tahun sampai sekarang. Untuk usaha suplier yang dirintis di Bandung dipegang oleh abang saya dan tetap jalan,” ungkapnya yang kini dibantu enam karyawan dan sudah bisa memiliki dua toko. (nina rialita)

Kagaya Sport
Owner : Hengki Ahmad
Alamat Toko : Jalan Gedung Arca No 43 D, Simpang Halat-Medan
Jalan A R Hakim/Bhakti No 173 A Medan
Nomor TLP : 061-77038249/08126406347

Afika Rattan Furniture

Bisnis furnitur sudah dilakoni Atikah Puspita bersama keluarganya turun temurun sejak 1989 dengan nama Afika Rattan Furniture. Produk yang dijual di usaha ini adalah berbahan baku rotan. Pada masa itu, perkembangan meubel rotan sangat pesat mengacu pada permintaan konsumen luar negeri yang menyebabkan aktivitas ekspor meningkat. Keluarga Tika-sapaan akrabnya, yang awalnya hanya sebagai karyawan swasta di suatu perusahaan rotan selama satu tahun memilih berhenti jadi pekerja dan memilih membangun usaha furnitur meubel rotan.

Berbekal ilmu di perusahaan rotan yang sudah sempat didalami, usaha ini dibangun. Sambutan positif di awal membuat semangat keluarga Tika semakin menjadi. Modal awal usaha didapatkan dari pinjaman. Sedangkan, bahan baku rotan didapatkan dari Aceh, Padangsidimpuan (Sumatera Utara), Kalimantan bahkan Padang. “Modal awalnya adalah kepercayaan diri, lalu modal dana dari pinjaman abang saudara,” ujarnya kepada Majalah Inspirasi Usaha.

Afika Rattan-Owner-Tika (1)

Dalam proses pembuatan produk, Tika dan keluarga merekrut tenaga ahli dari Pulau Jawa, mengingat Pulau Jawa masih dianggap sentra pembuatan furnitur ini. “Kami fokus pada bahan baku pilihan juga dibantu tenaga ahli yang skillnya juga mumpuni. Ini kami lakukan karena dari dahulu hingga kemarinya, persaingan usaha sejenis sangat pesat. Jadi kami meminimalisir kekhawatiran melihat sangingan dengan menciptakan produk berkualitas,” ucap alumni Sarjana Pendidikan di Universitas Islam Sumatera Utara (UISU) ini.

Setelah produk jadi, pemasaran produk dilakukan kali pertama dengan menawarkan ke toko-toko di sekitar Medan dan luar kota. Butuh waktu untuk bisa diterima, namun akhirnya dilirik konsumen luar negeri sampai sekarang. Malaysia menjadi konsumen tetap hingga saat ini. Afika Rattan Furniture membuat produk diantaranya kursi santai, kursi goyang, kursi teras, kursi tamu rotan, parsel dan lainnnya. Produk dihargai mulai dengan Rp300 ribu hingga Rp5 juta.

Perkembangan usaha lumayan stabil di awal mulai dari barang-barang rumah tangga hingga ke parcel rotan, namun tahun 1999 sebuah musibah terjadi. Permintaan parcel yang biasanya masif, berkurang drastis lantaran barang produksi mereka khususnya parcel tercemar biskit beracun. Mereka berusaha bangkit dan bisa.

Dalam seminggunya, dibantu dua kepala tukang untuk membuat rangka meubel rotan, delapan orang menganyam dan satu orang finishing, Afika Rattan Furniture bisa memproduksi sepuluh set produk. “Untuk tenaga pemasaran, kami cukup dengan yang ada di keluarga. Sepuluh set yang diproduksi tersebut terkadang habis terjual, ya kadang juga tidak. Ada momen-momen tertentu permintaan bisa meningkat, seperti menjelang lebaran atau tahun baru,” ungkapnya. Dan, dalam seminggunya omset jualan ke wilayah luar kota mencapat Rp15 juta, dan dalam toko sekira Rp10 juta, dan bisa naik tergantung permintaan.

Tika yang diberikan tanggung jawab mengelola toko sejak tahun 2009 ini mengatakan, sejatinya punya cita-cita lain, namun karena kedua orangtuanya sudah tua, Tikapun memutuskan mengemban permintaan orangtuanya. “Ya, kalau sekarang bisa dibilang saya lebih suka jadi pengusaha,” tuturnya.

Untuk itu, beragam cara terus dicobanya untuk mempertahankan usaha. Misalnya, menggunakan layanan online untuk menggaet konsumen. Melalui facebook juga BBM, Tika memudahkan konsumen untuk memilih satu set kursi untuk beragam jenis rumah, baik minimalis hingga moderen. “Ini salah satu cara menarik konsumen. Sebab, banyak juga konsumen yang bingung ketika beli mau yang mana yang pas untuk rumahnya. Kami akan merasa lebih puas ketika, konsumen merasa tidak salah memilih barang. Apalagi, saat ini persaingan terus berjalan. Banyak pengusaha atau pengrajin furniture yang memilih jemput bola dengan memasarkan langsung produknya dari pintu ke pintu dengan menggunakan mobil ke konsumenya,” ungkapnya.

Satu target Tika yang belum tercapai saat ini adalah membuka toko di cabang luar kota. “Agar jangkauan konsumennya bisa lebih luas. Termasuk terus membuka peluang untuk memasarkan produk ke luar negeri. Jika, saat ini masih Malaysia, kami punya keinginan negara lain bisa kenal produk kami,” pungkasnya. (nina rialita)

Afika Rattan Furniture
Nama Lengkap : Atikah Puspita, SPd
Nama akrab : Tika
Alamat Produksi : Jalan Gatot Subroto No. 325, Medan
Nomor HP : +6281260000447
Facebook/ Yahoo : afikarattan@yahoo.com.
Pin BB : 27F3DC97

Djohan Coffee Corp-Meracik Kopi dalam Garasi

Usaha bisa dilakukan di mana saja, bahkan di garasi sekalipun. Di tangan Salimin Djohan, di lokasi yang disediakan untuk parkir mobil pribadinya tersebut, dia mampu menciptakan produk kopi nikmat. Mengemban nama usaha Djohan Coffee Corp, pria kelahiran 27 Desember 1968 ini meracik kopi sendiri yang awalnya untuk memenuhi kebutuhan kedai kopinya yang dibukanya di tahun yang sama kini memiliki konsumen sendiri.

Sejak tahun 2009, pria yang akrab disapa Djohan ini memanfaatkan garasi yang berukuran 4 x 6 meter. Bapak satu anak ini mengaku terinspirasi dari Steve Jobs yang bersama temannya Steve Wozniak dikenal sebagai Founder Apple yang juga menggunakan garasi di awal merintis karir. Di garasi ini, Djohan adalah bos dan pekerja di mana dia harus langsung turun tangan melakukan segala hal. “Saya memulai gongseng kopi di garasi mobil saya, karena awalnya dari keinginan untuk memulai menjadi roaster kopi dengan modal sekecil-kecilnya. Tidak perlu sewa tempat dan pegawai juga cuma satu orang saya sendiri. Saya terinspirasi dari Steve Jobs,” ungkapnya kepada Majalah Inspirasi Usaha.

Langkah ini, lanjutnya paling ideal untuk memulai usaha, agar risiko minim dan bisa mencurahkan modal untuk peralatan yang dibutuhkan daripada anggaran habis untuk sewa tempat. “Saya kira itu juga yang dilakukan Steve Jobs dan enterprenuer lainnya,” timpalnya.

Djohan Coffee di Pabrik Garasi (1)

Untuk mendapatkan hasil yang terbaik, Djohan berburu biji kopi pilihan yang terkenal dengan kualitas kopi yahud. “Saya mendapatkan green bean (biji) kopi dari pengumpul kopi daerah Aceh Gayo, juga daerah Sidikalang dan daerah Lintongnihuta,” tegasnya.

Dalam prosesnya, Djohan mengurai jika dilakukan dengan tahapan grading (memilah kualitas biji kopi mentah), sizing (membuat ukuran yang sama), misalnya biji kopi antara 5-7 mm dan di atas 7 mm, sisanya tidak dipakai, serta penjemuran untukmendapatkan kadar air biji kopi sekitar 12 %, proses itu bisamemakan dua sampai tiga hari untuk hasil sekira 200 kg biji kopi bagus. “Dunia yang paling hebat ada di internet, saya pelajari soal kopi. Sehingga saya mengerti kopi yang bagus,” ujarnya soal pengetahuannya tentang kopi dan proses pembuatannya.

Karena pabrik kopi diakuinya masih berskala kecil, Djohan masih mengerjakan semua proses sendirian. “Saya melakukan semua proses testing dari green bean sampai siap seduh, karena pabrik masih kecil volume, jadi belum memakai tenaga ahli, hal lain yang membuat saya suka bergelut dari proses tersebut adalah belajar langsung dan berani untuk melakukan kesalahan. Yaitu mengambil risiko yang sudah diperhitungkan, tujuannya adalah untuk mendapatkan mana yang benar, kita perlu tahu mana yang salah,” tuturnya.

Hasil racikan kopi yang telah digongseng, disuplainya ke kedai kopinya bernama Kopi Tiam Ong serta Republik Kopi di Medan. Di samping itu, dia juga menjual kopi dalam bentuk biji dan bubuk ke publik. Untuk kopi bubuk dijualnya ukuran 100 gram dengan Rp25 ribu dan 200 gram dengan Rp50 ribu. Dalam sebulan sekira 1,500 kg laku terjual. “Umumnya yang membeli adalah konsumen yang memang penikmat kopi sewaktu di kantor, di rumah dan sebagian lagi konsumen dari luar kota untuk oleh-oleh dari Medan,” jelasnya.

Djohan memang harus berbagi waktu tidak hanya terjun langsung ke pabrik kopi di garasinya, juga mengontrol perkembangan kedai kopinya. Diakuinya, usaha kedai kopi masih menguntungkan. “Saya kira kedai kopi tetap menarik dan menguntungkan, karena merupakan gaya hidup orang perkotaan. Jadi saya tetap menginginkan perkembangan gerai kedai kopi ,. Namun, pabrik kopi di garasi akan tetap dipertahankan sampai kapasitasnya tidak memungkinkan, barulah dipikirkan untuk mendapatkan tempat baru yang lebih baik dan moderen,” ucap alumni S2 Institut Pengembangan Indonesia ini.

Apalagi, menurutnya kedai kopi dan café berkembang pesat di Kota Medan sehingga permintaan kopi siap seduh menjadi berkembang. “Sebagai pemilik kedai kopi dengan brand lokal, saya tidak bias membeli dari orang lain (kopi racikan), karena merupakan prestise dan keunikan dari si pemilik kedai, sehingga saya harus menggonseng sendiri dengan cita rasa yang saya inginkan. Namun kalau hanya menjalankan pabrik kopi saja, pasarnya harus lebih,” pungkas pria yang memilih memiliki usaha sendiri daripada meneruskan usaha furnitur orangtuanya. (nina rialita/Majalah Inspirasi Usaha)

Djohan Coffee Corp
Owner : Salimin Djohan
Nomor HP : 08126071690
Alamat : Komplek Griya Riatur Indah, Medan (Rumah & Pabrik Kopi)
Jalan Dr Mansyur No.39, Medan (Resto Kopi Tiam Ong)
Jalan Setia Budi, Medan

Raja Risol

Bisnis kuliner masih menjadi idola pengusaha baru. Beragam jenis makanan dari yang berat hingga ringan memberikan peluang menjanjikan. Bahkan hal inipun berlaku untuk usaha berbasis varian camilan yang lajim ditemui dan jamak adanya, seperti risol. Seperti yang dilakoni empat pemuda di Medan yang tergabung dalam label usaha Raja Risol. Mereka (Azhar Indra Rifangi, Raja Rizky Ramadhan, Tedja Mukti Raharja dan Fauzi Zulmi) mampu mengemas risol menjadi makanan ringan spesial.

Raja Risol Owner (3)-Azhari.jpg:

Risolnya milik Raja Risol memiliki isi keju, sosis juga coklat. Ide ini tercipta sejak 2012, tatkala sedang mengikuti mata kuliah kewirausahaan di Jurusan Ilmu Komputer Universitas Sumatera Utara Jurusan (USU). “Alasan kami memilih usaha risol karena risol merupakan salah satu makanan favorit untuk semua kalangan. Tidak memandang umur dari anak-anak sampai kakek nenek semua orang pasti suka risol. Selain itu, ini diawali saat ada mata kuliah di kampus yaitu kewirausahaan. Kami ditantang untuk membuat tugas presentasi sebuah usaha. Kami buatlah risol dan kami presentasikan ke depan kelas, hasilnya baik. Dari situlah kami melihat ternyata peluang risol sangat besar,” ujar Azhar Indra Rifangi mewakili ketiga kawan lainnya kepada Majalah Pengusaha Indonesia, Maret 2014.

Pemuda kelahiran 21 Januari 1992 ini menambahkan, setelah muncul ide membuat usaha risol, keempatnya sepakat mengeluarkan kocek pribadi sebesar Rp50 ribu perorang. Total Rp200 ribu tersebut dibelikan bahan baku untuk membuat risol. Dengan resep yang dicari dan diramu dari berbagai sumber, risol dibuat. Beberapa percobaan sempat gagal hingga akhirnya mereka menemukan formula terbaik dan resmi Mei 2012 memperkenalkan risolnya Raja Risol ke publik. “Kendala pertama adalah kami harus berjibaku dengan jadwal kuliah, tugas menumpuk dan lainnya. Banyak suka dukanya dan dukanya adalah kami harus terpaksa menunda skripsi. Dari kami berempat dua sudah lulus kuliah, dua lagi masih berjuang,” beber mahasiswa semester akhir ini.

Untuk kali pertama pemasaran dilakukan Azhar dkk melalui perangkat blackberry messanger (BBM), tujuan terdekat adalah kawan kampus dan keluarga. Dari BBM, pemasaran berlanjut dengan twitter, instagram lalu membuka stan di area ramai seperti kampus. Bahkan tak jarang mereka ikut even dan menjajakan risolnya. “Responnya sangat baik, meski harus kerja keras di awal mulai pengenalan produk hingga produk delivery. Tantangan utama tentu harus menanggalkan label mahasiswa dan menjadi penjual risol. Tapi berjalan dengan waktu, dengan semangat kawan-kawan semua kami bisa berjalan dan bertahan hingga saat ini. Apalagi, ternyata konsumen yang menjadi target utama kami memang kawan-kawan mahasiswa. Inilah yang memicu semangat kami tetap ada,” tegasnya.

Satu risolnya Raja Risol dijual dengan harga Rp3 ribu. Seiring dengan waktu, risol yang dijual tak lagi yang siap saji saja. Raja Risol mengeluarkan inovasi dengan menyediakan risol beku, yang bisa digoreng dan disantap di rumah dalam keadaan panas. “Awalnya memang hanya risol goreng di tempat. Lalu kami berpikir, bagaimana caranya konsumen yang mau risol kami dan tetap hangat disantap meski lokasinya ada di mana saja, dan konsumen bisa memakannya kapan saja. Kemudian kami ciptakan risol beku, pelanggan tinggal beli dan goreng sendiri di rumah, jadi bisa tetap fresh,” tuturnya.

Satu risol goreng dihargai Rp3 ribu sedangkan yang beku Rp2800. Kini, dalam seminggunya mereka memproduksi 800 risol dan itu langsung habis. Dalam produksinya, Raja Risol dibantu lima karyawan. “Produksi bisa meningkat seiring permintaan. Kami menjualnya dalam pack bisa juga satuan. Berapapun kami layani, sebab konsumen juga raja. Satu packnya isinya lima risol,” ucapnya.

Azhar mengakui usaha ini sudah mencapai balik modal sejak enam bulan membuka usaha. Dan, kini bisa beromset Rp10juta perbulan. “Dengan usaha ini paling tidak kami bisa membiayai diri sendiri dan soal keuntungan kami bagi rata. Sejauh ini tidak ada masalah soal itu. Kami juga membuka lapangan kerja buat yang baru yang ingin jadi reseller. Dan, untuk reseller kami sebut dengan prajurit risol,” jelasnya.

Dengan tagline “Rasakan sensai kekuasaan raja”, Azhar dkk berharap bisa menjadikan milik mereka menjadi salah satu ikon kuliner Medan. Azhar mengkui, tidak mudah bertahan dengan persaingan bisnis sejenis. Apalagi, di Medan banyak sekali usaha camilan bermunculan. Untuk risol saja, sudah beragam usaha juga dibuka oleh pengusaha muda. “Iya kami paham, tapi sejauh ini kami bersaing secara sehat dengan mengedepakan mutu produk. Yang membedakan risol kami dengan yang lain adalah dari kualitas bahan yang kami gunakan. Juga rasa yang beda dengan yang biasanya, sehingga membuat risol kami tidak cukup dimakan sekali saja,” klaimnya. (nina rialita/Majalah Pengusaha Indonesia)

Raja Risol
Alamat : Jalan Jangka No 28 Medan.
No Kontak : 085270100500

Kele (Keripik Lele)

Packaging atau kemasan suatu produk menjadi nilai tambah terhadap daya tarik konsumen untuk mau merogoh kocek membeli barang. Meskipun, sejatinya produk yang baik adalah cantik di luar juga dibarengi kondisi yang ada di dalamnya. Namun, produk yang eyecatching dapat membantu pemasaran lebih mudah. Inilah yang diyakini Lisma Warni dalam memasarkan produknya yaitu Kele, perpaduan nama dari keripik lele.

Ini adalah olahan ikan lele yang telah diiris kemudian dicampur rempah-rempah serta tepung sehingga sangat renyah layaknya keripik yang biasanya dominan berbahan baku buah. Perempuan berusia 32 tahun ini memasarkan kreasi rumahan ini dikemas dalam kaleng ukuran 75 gram. Di dalam kaleng juga dilapisi alumunium foil. Tidak sampai di situ saja, warna merah jambu menyala pada desain kaleng membuat keripik ini memiliki level dan standar tersendiri di mata konsumen.

Lisma memproduksi Kele sejak satu tahun yang lalu. Diakuinya pemilihan bahan baku ikan lele tidak mudah begitu saja. Lisma sempat menggunakan ikan tuna, ikan hiu dan ikan pari, namun dari sisi rasa tidaklah senikmat lele. “Sebelum dipasarkan, pada awalnya saya gunakan ikan tuna, hiu bahkan pari, lalu lele. Dari semua ikan tersebut, lele yang rasanya nikmat dijadikan keripik. Terlebih saya juga suka lele dan dari segi nilai ekonomis, lele harganya relatif standar, murah dan jarang sekali harga lele naik,” ujarnya kepada Majalah Inspirasi Usaha.

Ketertarikannya membuat keripik lele, lantaran belum ada usaha sejenis di Medan. Dia memulai dari nol dengan cara otodidak dari keahlian memasak selama ini. Bisnis ini merupakan usaha kesekian yang dilakoninya setelah butik, rumah makan, dan bakso. Dia pun memutuskan membuat inovasi dan serius di usaha kuliner kele ini. Pada awalnya, bermodal uang Rp50 ribu dia membeli dua kilo lele dan beserta bumbu. Lalu membuat tester ke orang-orang terdekat dengan kemasan yang masih berupa plastik. Dari teman dan keluarga semua memberikan respon positif. “Saya menggunakan lele, bumbu dapur seperti lada, ketumbar lalu tepung dan telur tanpa pengawet dan MSG. Ada teman yang sangat baik mau membantu saya menyebarkan tester dari yang sangat suka lele hingga yang sama sekali enggak suka lele. Ternyata respon nya bagus dan memnbuat saya semangat,” ungkapnya.

Nina-Keripik Lele (7)

Sulung dari tiga bersaudara ini kemudian berpikir bagaimana keripik yang selama ini dijual dengan kemasan plastik bisa ‘naik kelas’. Lalu, muncul ide bagaimana menemukan kemasan yang mampu menahan keripik lele ini dalam jangka waktu yang lama. Tercetuslah kaleng, ini juga dilatarbelakangi pangsa pasar targetnya yaitu konsumen menengah ke atas. “Satu kaleng beratnya 75 gram dengan isi bersih 50 gram. Kalau dengan kemasan plastik dijual Rp15 ribu orang mungkin mikir, tapi kalau kaleng begini orang pasti mau, karena kemasannya tidak sembarang,” bebernya. Dengan kaleng, kele bisa bertahan hingga satu tahun karena kalengnya bertutup rapat.

Produksi awal dari teman ke teman hanya lima kilo seminggu, namun kini sudah 30 kilo dalam seminggu dengan rata-rata kebutuhan tepung hanya 10 kilo. Saat ini, dengan dibantu dua karyawan dan omset Rp20 juta, produknya sudah sampai luar kota, hingga Surabaya, Jakarta. Lisma cukup terbantu memiliki teman yang bekerja di travel dan mau ikut memperkenalkan produknya. “Saat ini dari teman ke teman, via online juga telepon langsung. Sedangkan untuk toko retail belum saya masukkan karena mereka menganut sistem barang diletak dulu baru bayar belakangan, sementara pelaku UKM seperti saya butuh memutar modal. Jadi, saya belum pasarkan ke retail, saya bentuk pasar sendiri, ” jelasnya.

Pun demikian, untuk memiliki kemasan yang apik, Lisma terpaksa memesan dari Jakarta. Menurutnya, di Medan kemasan kaleng yang bagus belum ada. Yang tersedia di Medan hanyalah kemasan kotak dan plastik.

Selain itu, Lisma punya keinginan kelak akan ada pelaku usaha keripik ikan sepertinya di Medan. Satu sisi, berbisnis tanpa rivalitas menguntungkan, namun di sisi lain Lisma butuh rival sebagai pembanding. “Jujur diakui sulit mengenalkan Kele ini, beda dengan keripik buah semisal pisang yang sejak jaman dahulu rasanya sudah sangat dikenal masyarakat. Sedangkan, banyak orang yang belum melihat keripik lele. Ibaratnya, kalau saya enggak kasih tester ke orang saat memasarkan, maka konsumen seperti beli kucing dalam karung. Orang lihat dari packagingnya yang tertutup rapat. Kalau ada pesaing di Medan, saya enggak begitu sulit lagi memperkenalkan keripik ikan,” paparnya.

Seperti tekatnya yang bulat di usaha ini, Lisma tetap yakin. “Untuk itu saya ingin berinovasi sembari terus memasarkan produk ini agar makin dikenal publik. Dalam target saya ingin membuat keripik belut, mudah-mudahan bisa selaku lele,” pungkasnya. (nina rialita)

Kele
Owner : Lisma Warni
Alamat : Jalan Mangaan 5, Kelurahan Mabar, Kecamatan Medan Deli.
Nomor Telepon : 085371229440