Sarasehan Jurnalis Perempuan 2012-Dewan Pers, Jakarta 20 Desember

Menteri PP berbincang dengan FJPI-Ketua FJPI Khairiah Lubis dan Ketua Div Diklat Nina Rialita.JPG

Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Linda Amaia Sari Gumelar mengapresiasi jurnalis perempuan dalam menjalankan tugasnya. Hal ini diungkapkannya dalam Sarasehan Jurnalis Perempuan Indonesia 2012 “Memperkuat Peran Jurnalis Perempuan dalam Meliput Isu Penting bagi Publik” di Hall Dewan Pers, beberapa waktu lalu.

“Pertama tentu saya memberikan apresiasi kepada perempuan yang bekerja di bidang jurnalis. Yang saya kira ini bukan pekerjaan yang mudah, banyak tanggung jawab yang harus dipikul, selain tanggung jawab secara pekerjaan juga bagaimana bisa memberikan informasi menulis dengan cerdas terkait isu-isu atau masalah perempuan,” ujarnya di hadapan seluruh jurnalis perempuan dari berbagai media cetak dan daerah di tanah air. Dari Sumatera, Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) menjadi undangan bersama FJPI Aceh.

Linda menegaskan bukan karena perempuan lantas hanya mengangkat isu perempuan. Namun, keberadaan perempuan akan lebih peka. “Bukan karena perempuan harus mengangkat isu perempuan, tapi rasanya lebih peka. Untuk bisa mendorong isu-isu perempuan yng perlu diangkat dan perlu diketahui oleh masyarakat. Saya pikir tugas jurnalis perempuan ini perlu diapresiasi,” tegasnya. Jurnalis perempuan, lanjutnya juga harus bisa memperjuangkan isu-isu, seperti pelecehan seksual, kekerasan, trafficking, kesetaraan gender, dan hal lainnya yang berhubungan dengan isu perempuan.

Perhatian Linda terhadap jurnalis tentu tak terlepas dari cita-citanya masa dulu yang ingin jadi jurnalis. “Saya ingin jadi jurnalis tapi tidak kesampaian. Ibu saya seorang jurnalis radio,” timpalnya. Linda sangat berharap, eksistensi jurnalis perempuan tidak hanya pada tingkatan reporter, tapi harus di penentu kebijakan tempatnya pekerja. “Memang itu harus melalui tahapan, tapi akan lebih bagus jika bisa dilakukan,” lanjutnya.

Linda juga menggarisbawahi perihal perlindungan jurnalis perempuan dalam bekerja. “Ini juga menjadi suatu catatan. Ini sangat penting, karena ada kodrat yang dimiliki perempuan jurnalis, misalnya hamil, menyusui, haid itu kodrat perempuan, harus diberikan afermative action agar mereka tetap bisa dilindungi dalam bekerja dan mendapatkan haknya dalam bekerja,” bebernya.

Sejatinya, Linda menambahkan, pihaknya tidak hanya peduli dengan kekerasan dalam bekerja untuk jurnalis perempuan. “Tapi jurnalis perempuan harus berani menyampaikan fakta, ketika dia mengalami kekerasan dan diskriminasi. Target Kementrian PP di 2024, kesetaraan perempuan dan laki-laki di di berbagai sektor bisa tercapai,” tuturnya.
Melihat antusias jurnalis perempuan dalam sarasehan tersebut, Linda siap menjadi tuan rumah Sarasehan Jurnalis Perempuan tahun depan 2013. “Saya siap menjadi tuan rumah sarasehan jurnalis perempuan tahun depan,” tegasnya.
Sementara itu, Ketua Dewan Pers Indonesia, Bagir Manan pada sarasehan tersebut meminta jurnalis perempuan di Indonesia harus memperhatikan isu kesetaraan gender di dalam parlemen maupun partai politik (parpol). Karena secara hukum menurut Mantan Ketua Mahkamah Agung Indonesia itu, 30 persen anggota DPR itu wanita, tapi faktanya sampai sekarang belum tercapai. “Jumlah perempuan yang bekerja sebagai PNS untuk eselon empat mungkin jumlahnya sama. Tapi di eselon satu, jumlahnya di bawah sepuluh persen,” ucapnya.

“Jurnalis Perempuan Indonesia harus memberikan pengetahuan tentang bagaimana cara memilih di dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) maupun pemilihan umum (Pemilu), karena dengan dibekali pengetahuan yang cukup perempuan di Indonesia akan memilih pemimpin secara baik dan benar. Nah itulah peran Jurnalis Perempuan Indonesia memberi pemahaman untuk itu melalui pemberitaan,” kata Bagir Manan.

Bagir juga berharap keberadaan Forum Jurnalis Perempuan Indonesia semakin luas tidak hanya di Medan dan Aceh. “Saya harapkan FJPI bisa ada di seluruh Indonesia,” timpalnya.

Uni Lubis, Ketua Komisi Pendidikan/pelatih Dewan Pers, Pengembangan Profesi dan Anggota Dewan Pers menambahkan, saat ini di Indonesia ada sekira 30 ribuan jumlah wartawan. Yang jumlah tersebut bisa melonjak tinggi jelang Pilkada. “Karena banyak media yang muncul saat Pilkada. Belum ada jumlah resmi data wartawan, namun 30 persennya adalah jurnalis perempuan,” ujarnya.

Perhatian terhadap keberadaan jurnalis perempuan, lanjut Uni Lubis bukan dimaksudkan untuk memanjakan jurnalis perempuan. “Justru jurnalis perempuan bekerja lebih keras daripada laki-laki untuk sampai pada tahap ini. Dengan perbedaan fisik, perempuan tidak minta dibedakan karena kodratnya perempuan. Tapi butuh proteksi dalam pekerjaannya. Apalagi budaya patriarki masih kuat. Misalnya, ketika ada pelatihan untuk jurnalis sangat sulit bagi jurnalis perempuan untuk mendapatkan ijin,” bebernya.

Jurnalis perempuan, menurut Uni Lubis adalah multi tasking. “Untuk itu jurnalis perempuan tidak boleh cengeng, harus menunjukkan kita bisa. Faktanya di keberadaan jurnalis perempuan di media jumlahnya masih sedikit di pengambil keputusan,” jelasnya.

Jurnalis Perempuan Senior “The Living Legend” Herawati Diah, yang kini berusia 95 tahun mengungkapkan rasa bangganya atas kemajuan jurnalis perempuan masa kini. Ibu Diah menyempatkan datang dengan semangat, meski kondisinya sudah sangat renta dan menggunakan kursi roda. “Semoga ke depan, semakin banyak jurnalis perempuan. Jurnalis perempuan juga tidak boleh manja agar bisa bersaing dengan jurnalis laki-laki,” ujarnya.

Ketua Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI), Khairiah Lubis mengatakan sangat bangga bisa bergabung dalam sarasehan tersebut. Ini kali kedua bagi FJPI diundang, sebelumnya bersama Ketua FJPI Aceh, Saniah, Khairiah didaulat sebagai pemateri. “Kami (FJPI) sangat bangga bahwa keberadaan FJPI menjadi perhatian Dewan Pers. Kami juga senang bisa bertemu dengan jurnalis dari berbagai daerah di Indonesia berbagai pengalaman dan semangat membangun kebersamaan untuk menjadikan jurnalis perempuan punya power yang sama dengan jurnalis laki-laki,” pungkasnya. (nina rialita)

CEO dan Manajer PSMS DU PT Liga Mundur

*Terbit di GOAL.com Indonesia, 1 Januari 2013Indra Sakti Harahap

Ujian berat menandai persiapan PSMS Divisi Utama PT Liga jelang pergantian tahun. Pasalnya, persiapan tim yang urung selesai diperparah dengan mundurnya dua figur penting di jajaran manajemen, sang CEO Alexander Gho dan manajer Bachrum Nasution. Tidak hanya itu, negosiasi yang berjalan ditempat dengan para pemain di skuat Ayam Kinantan-julukan PSMS, pasca launching tim 2 Desember lalu memunculkan kabar lain bahwa para pemain akan dilepas dan diganti dengan satu skuat bernama PS Kwarta.

Ketua Umum PSMS Divisi Utama PT Liga, Indra Sakti Harahap yang dihubungi Senin malam (31/12) mengatakan belum mengetahui perihal mundurnya dua orang tertinggi di level manajemen PSMS tersebut. Namun, diakuinya, secara pribadi dia tidak terkejut. “Sejujurnya saya tidak terkejut, karena sudah melihat gejolak itu belakangan ini. Saya sudah bisa membaca, jauh hari saya melihat ada perbedaan pendapat dalam penyusunan tim, tapi saya tidak menyangka akan disikapi dengan frontal seperti ini (mundur). Karena ini ada mekanismenya dan ini organisasi, saya belum menerima pemberitahuan secara lisan dan tulisan, maka saya sebenarnya belum bisa mengomentari bagaimana detailnya sehingga terjadi hal ini,” ujarnya kepada GOAL.com Indonesia.

Selama ini, lanjut Indra pengurus tidak terlalu mau mencampuri bagaimana manajemen menghandle tim termasuk negosiasi dengan pemain. Pengurus, menurut Indra hanya menginginkan tim terbentuk dan selesai semua urusan termasuk negosiasi kontrak tanggal 10 Januari. “Jikapun ada kendala, perbedaan pendapat, kan masih ada jalan tengah seperti urung rembuk. Ketika di level manajemen tidak bisa memenuhi target pengurus, maka pengurus kan bisa mengambilalih untuk mengatasinya. Tapi, kalau sudah terjadi begini (mundur) ya mau bagaimana lagi. Tapi, sekali lagi, karena saya belum mendengar langsung dari yang bersangkutan perihal mundur dan detail masalah yang terjadi, tentu saya akan mencari tahu besok dengan konfirmasi ke mereka. Saya belum mau masuk ke wilayah apa sebenarnya yang melatarbelakangi mundurnya mereka. Saya akan konfirmasi ke CEO, manajer dan pelatih seperti apa. Walau saya tahu ada perbedaan pendapat,” bebernya.

Indra mengungkapkan, kondisi apapun yang terjadi di manajemennya saat ini, tidak akan menyurutkan persiapan tim untuk berkompetisi pada tanggal 27 Januari 2013 mendatang. Menurutnya ini sebagai tanggung jawab. “Persoalan ini akan kami rapatkan besok (Selasa). Kami memang sudah agendakan rapat pengurus, walau sebenarnya agenda awal hanya soal persiapan tim pada pukul 11.00 WIB di Gedung Mantan. Tapi, rapat besok tentunya akan membahas apa yang sudah berkembang dan info yang saya terima dari media malam ini. Tim ini dengan segala persoalannya akan tetap berjalan dan akan bertanding tanggal 27 Januari,” tuturnya.

Soal sosok pengganti kedua figur yang mengundurkan diri, Indra mengaku semuanya akan berjalan otomatis, di mana di jajaran manajemen sudah ada wakil di tiap jabatan. “Kan ada wakil CEO, dan wakil manajer saat pembentukan manajemen. Saya rasa mereka para wakilnya secara otomatis menghandle jabatan yang ditinggalkan,” timpalnya.

Indra juga menampik soal keinginan manajemen dan pengurus untuk mengganti tim yang diisi pemain PSMS dengan PS Kwarta, lantaran lamanya para pemain pemain deal negosiasi harga. “Ini juga saya baru tahu dari adik-adik media. Saya sama sekali enggak tahu ada keinginan mengganti tim dengan PS Kwarta. Belum sampai ke sana saya, intinya kondisi PSMS musim ini beda dengan PSMS sebelumnya. Saat ini, kami berdiri sendiri dan membiayai tim masih dengan biaya pribadi, karena sponsorship belum ada. Kami juga butuh pengertian pemain tentang ini, jika pemain nantinya mau dirasionalisasi dan sepakat mungkin akan lebih mudah ke depan. Persoalan dana ini memang butuh pengertian tingkat tinggi. Tidak bisa hanya dilimpahkan ke satu orang. Tapi sekali lagi, dengan kondisi apapun kami akan tetap jalan, tim akan dibentuk 10 Januari dan bertanding 27 Januari,” ungkapnya.

Sementara itu, Bachrum yang dikonfirmasi terpisah mengakui kabar mundurnya tersebut. Dia malah menegaskan sudah tidak bersama tim lagi sejak Sabtu (29/12). “Iya , kami (dia dan Alexander Gho) sudah mundur. Sudah cocok ini (mundur), kami capek. Karena enggak beres semua orang itu. Sudah kami kerjakan semua tidak ada tanggapan. Berapa kemampuan uang klub, kami enggak tahu. Nego sudah dilakukan, dia (Indra) tidak ada juga merespon. Jadi kalau bos itu tidak konsekuan, apalagi. Kami mencoba menghasilkan uang dan tidak ada mencari uang di klub ini. Alhamdulillah saya sudah mundur. Berbahagia hatiku, leherku tidak tegang lagi. Tapi tetap, kami berharap secara pribadi dan berdoa agar PSMS maju ke ISL,” ungkapnya,” beber mantan manajer PSMS U-21 musim lalu ini.

Bachrum mengurai, dirinya dan Alexander serta Indra Sakti menggelar pertemuan di cafe d’Thongs Medan untuk membahas sikap PSMS terkait penambahan nilai kontrak yang diminta ke 15 pemain PSMS. Dalam pertemuan tersebut hadir juga pelatih Suimin Diharja, yang menurutnya di luar agenda. “Permintaan pemain diakomodir baru disampaikan ke Ketum, minta tambah sedikit mereka. Itu yang kami rapatkan. Tapi datang pelatih yang seharusnya enggak ikut. Karena ada pelatih, kami diam saja. Seharusnya dia (pelatih) tidak boleh ikut rapat itu, tidak cocok,” tukasnya. (gk-38)

Novie Palupi Yuli Andriyani-Owner D’soul Distro

OKE-Novie Palupi koleksi produk tas-1

Lelah jadi pegawai menjadi inspirasi seorang Novie Palupi Yuli Andriyani berani mengembangkan bakatnya di fashion ke bisnis barang-barang reseller. Sejatinya, perempuan kelahiran 9 Juli 1976 ini sudah menjalani posisi nyaman sebagai karyawan di perusahaan swasta. Dia pernah bergelut di perusahaan modal asing, juga sebagai konsultan kecantikan di perusahaan produk kecantikan.

Namun, ibu satu putri ini berani memulai usaha distro sejak 2006 dengan keyakinan inilah dunia yang menyatu dengan hatinya. Awalnya, usaha Novie dibangun dari sangat sederhana, di mana dia menjual barang-barang lokal dan import sesuai order konsumen sambil melakoni statusnya sebagai pegawai. Belakangan, dia putuskan untuk berhenti jadi pegawai dan membuka toko khusus pakaian, tas dan sejenisnya. Produk yang dijualnya berasal dari Bandung, Jakarta dan beberapa daerah di Asia.

“Dari dulu saya suka fashion dan sepertinya memang dari keluarga ada darah bisnisnya. Bapak saya misalnya, walaupun guru tapi jadi pegadang dengan membuka toko grosir. Saya beranikan diri buka toko yang saat itu modalnya jutaan untuk menyewa tempat,” ujarnya saat ditemui di D’soul Distro Jalan Dr Mansur No 43 Medan.

Awal berdiri, semifinalis gadis sampul tahun 1991 ini membuka toko dengan nama Novie. Pada saat itu, bungsu dari delapan bersaudara ini lebih banyak menjual produk-produk pakaian dan perlengkapan pria dengan konsep toko kaca tertutup. “Banyak yang bilang, orang segan masuk toko saya karena dikira barangnya mahal-mahal. Lalu saya berpikir bagaimana bisa lebih menyatu dengan pelanggan,” kenangnya.

Setahun kemudian tahun 2007, Novie memindahkan lokasi tokonya yang masih berdekatan dengan tempat awal. Dia mengubah konsepnya menjadi serba terbuka dengan nama D’soul Distro. Dari luar, pelanggan bisa dengan bebas melihat produk yang dijual. Novie tidak memasang pintu dan membiarkan semua mata leluasa melihat barang dagangannya. Strategi ini terbilang sukses, Novie langsung mendapatkan pelanggan yang cukup banyak. “Saya lebih dekat dengan konsumen. Saya di sini selalu mengedepankan komunikasi yang baik, saya sering kali dijadikan tempat curhat konsumen untuk memadupadankan busananya. Jadi semacam penasehat busana bagi konsumen” ujarnya.

Novie merasa bersyukur, lantaran dari awal berdiri usahanya dia diberikan kemudahan oleh Allah SWT. Termasuk, saat mencari lokasi yang strategis di kawasan kampus Universitas Sumatera Utara (USU). “Awalnya, pilihan saya ada dua di dekat kampus USU atau UMSU. Saya ingin membuka toko sampai malam, setelah disurvei ternyata di USU yang tetap ramai meski malam,” timpalnya. Novie yang masih lajang kala itu memilih tinggal di distronya, saking banyaknya pelanggan, terkadang toko tutuppun harus dibuka kembali lantaran konsumen ingin membeli. “Ditelepon untuk buka karena mau beli baju. Tapi, begitu saya menikah tentu tidak tinggal di distro lagi, distro adalah distro dan saya tinggal bersama suami,” lanjut warga Komplek ACM Blok F No 30 ini.

Kini, Novie membuka usahanya dari pukul 10.00 WIB-20.00 WIB. Barang yang laris terjual adalah pakaian wanita dengan omset Rp40-an juta sebulan. Novie tidak banyak keluar biaya untuk membayar pegawai lain, karena dia kerja sendiri. “Dulu pernah awal menikah saya pakai karyawan, tapi konsumen pada komplain. Mereka lebih suka kalau saya langsung yang jual, mungkin karena bisa saling sharing soal fashion. Jadi sekarang, saya sendiri yang jual,” tuturnya.

Untuk menjaga kualitas barang yang dijualnya kembali, Novie membiasakan diri langsung berbelanja. Dia rutin ke Jakarta belanja tiga bulan sekali, sedangkan barang dari Bandung sudah produsen tetap. Sehingga, dari Bandung selalu mengirimkan barang begitu ada produksi baru. “Saat ini bisa dibilang semua barang lokal, saya tidak import lagi. Dan, barang yang dijual di sinipun lebih bervariatif, dari yang awalnya hanya baju cowok, sudah banyak baju cewek, tas, juga sekarang sedang laris busana untuk hijab. Jadi, jilbab-jilbab baru ada di sini,” ucapnya. Untuk baju dijual Rp70 ribu sampaiRp380 ribu, celana Rp200 ribu sampai Rp255 ribu, rok Rp100 ribu hingga Rp250 ribu, tas Rp160 ribu-an.

Untuk tetap eksis di tengah persaingan bisnis reseller dalam bentuk distro, Novie punya kiatnya. Dia menjual barang yang tidak pasaran, masing-masing model atau warna biasanya jumlahnya terbatas. Apalagi, kawasan Dr Mansur sudah sangat berjibun distro pakaian anak muda. “Pelanggan saya 50 persen memang anak kampus, tapi banyak juga yang umum. Persaingan memang berat, tapi saya tahu harus jaga kualitas dan menjalin komunikasi yang baik dengan konsumen. Konsumen tidak boleh hanya sekadar dilihat dari uangnya. Di distro ini saya juga bebaskan konsumen mencoba barang yang mau dibeli, agar ketika sampai di rumah konsumen benar-benar puas dan tidak merasa dirugikan kalau pakaiannya tidak pas. Dan, saya usahakan barang enggak pasaran, rata-rata satu piece satu warna,” bebernya.

Prospek ke depan, diyakini Novie akan tetap bagus. Bisnis reseller, lanjutnya sama seperti bisnis lainnya. “Yang penting dalam berbisnis itu dilakoni dengan hati juga jiwa. Saya sangat nyaman di sini, karena ini sudah saya yakini sebagai dunia saya,” ungkapnya.

Jika ditawarin jadi pegawai lagi? “Sudah ada yang minta saya kembali jadi konsultan di perusahaan produk kecantikan, tapi enggaklah. Saya lebih suka di sini, jiwa fashion dan bisnis saya tertuang, jauh lebih nyaman,” pungkasnya. (*)

Batik Sumut dengan Tujuh Corak Etnis

TOSHIBA CAMCORDER

Batik lama sudah menjadi khasanah budaya dan tak terpisahkan dari Indonesia. Apalagi, pasca-United Nations Education Social and Cultural Organization (UNESCO) telah mengakui batik sebagai warisan khas Indonesia tahun 2009 lalu, kecintaan terhadap batik kian tak terbendung.

Bisnis fashion yang termovitasi dari batik juga kian pesat. Jika selama ini, batik hanya dikenal dari Pulau Jawa sebagai sentra dan identitas negeri ini, nun jauh di Sumatera Utara sejatinya batik juga punya sesuatu yang lebih istimewa. Batik dengan motif atau corak unik dengan paduan tujuh etnis yang ada di Sumatera Utara.

Inilah yang dikembangkan Dra Nurcahaya Nasution, Lembaga Keterampilan Pelatihan (LKP) Saudur Sadalanan. Di masa pensiunnya dari Dinas Kesehatan Deliserdang, bersama ibu-ibu di lingkungan tempat usaha dan pelatihan di Jalan Letda Sujono Gang Alhalim Kiri No.1 ini, Nurcahaya memimpin proses pengembangan batik bermotif etnis Sumatera Utara, yakni Mandailing, Nias, Tapanuli Utara, Simalungun, Karo, Dairi dan Melayu. Batik yang tercipta lebih beragam dengan tingkat kesulitan yang berbeda-beda sesuai corak identitas suku di Sumut yang multietnis yang dominasi merah, kuning dan hitam.

Dia memulai batik motif Sumut sejak 2010 dengan dibantu sepuluh pekerja yang semua berasal dari lingkungan sekitar. Lokasi usaha ini, para pekerja memanfaatkan teras juga bagian depan rumah untuk melakukan semua proses batik, mulai canting, rebus, dan lainnya.

Dalam sebulan, rata-rata ada 850 kain batik yang siap jual. Nurcahaya memproduksi dua jenis yakni batik tulisa dan batik cat. Untuk batik tulis dijual Rp200 ribu per dua setengah meter dan batik cat Rp120 ribu per dua meter.

“Pelanggan sudah banyak, dan menyebar ke seluruh Indonesia. Tapi ada juga wisatawan yang kebetulan datang ke Medan, singgah ke sini dan beli batik. Rata-rata memang hanya membeli kain,” ujar perempuan berusia 67 ini.

Selain kain, di usaha ini, Nurcahaya juga menyediakan pekerja dengan ketrampilan menjahit. Ini diperuntukkan bagi pelanggan yang ingin menempah jahitan. “Jadi, kalau mau beli baju, tinggal beli kainnya plus ongkos jahit Rp30 ribu,” timpalnya.

Menurut ibu empat anak ini, mengenalkan batik bercorak Sumut tidaklah sulit. “Respon publik saat pertama kali saya sounding ke luar sangat baik. Banyak pelanggan malah meminta buat kain dengan mahal saja. Tapi saya rasa enggak bisa juga begitu. Karena orang mencari yang murah,” lanjutnya.

Munculnya batik Sumut ini juga sempat menarik perhatian publik tanah air, saat Nurcahaya dkk ikut lomba di Bandung tahun 2010. “Saat itu, Dinas Pendidikan mau membuat perlombaan dan mempertanyakan adakah batik khas Sumut. Lalu Dekranas menunjuk kami, jadi ikutlah lomba dan kami menang juara harapan dua se Indonesia. Kami menang karena kaya motif dari berbagai etnis di Sumut,” kenangnya.

Sejak momen ini, Nurcahaya tak pernah ketinggalan untuk diajak ikut pameran kemanapun.Nenek dengan 12 cucu ini menjelaskan, untuk sampai pada tahap terampil membatik khas Sumut, lantaran Dewan Kerajinan Nasional (Dekranas) mengirimkan dirinya ke Jawa untuk pelatihan. Seorang tetangganya yang bekerja di dinas meminta Nurcahaya melatih batik ibu-ibu setempat. Namun, dia mengaku belum bisa.

“Saya akhirnya dikirim ke Jawa bersama 20 orang dilatih membatik dan tenun di sana. Dan saya fokus ke batik. Setelah itu, dikasih dana oleh pemerintah dan saya memulai usaha ini. Sebenarnya dulu saya tidak tertarik batik. Padahal dulu waktu di Jogja ketika menantu saya kuliah di sana, saya pun tidak terpikir. Malah saya sempat latihan buat kerajinan lilin, tapi sekarang malah hilang ilmunya,” ujarnya.

Tahun 2009, Nurcahaya mencoba membatik masih dengan motif sesuai gurunya orang Sunda di Jawa. Namun, beberapa orang menyarankan untuk membuat motif khas Sumut. Nurcahaya tertantang, dia pergi ke perpustakaan, mencari buku tentang pengetahuan etnis di Sumut. Tidak hanya itu, dia juga pergi ke daerah seperti Balige, mendokumentasikan ornament atau rumah adat di sana. “Saya akhir buat corak tahun 2009, asal pergi ke mana saja, dan menemui sesuatu yang ada hubungannya dengan adat di Sumut saya perhatikan dan foto untuk bahan membatik,” jelasnya.

Perempuan kelahiran Ipar Bondar, 10-05-1945 mengurai, sebelum usaha dan pelatihannya berada di Jalan Letda Sujono Gang Alhalim Kiri No.1, dia membuka usaha Batik Medan di Jalan Bersama Gang Musyawarah No.2 Medan.

Setelah lumayan, Nurcahaya menyerahkan usahanya kepada menantunya dengan nama Batik Medan. “Lalu saya merasa enggak enak juga kalau enggak kerja. Saya tanya ke anak saya nomor tiga, boleh tidak buka batik lagi dirumahnya di Jalan Letda Sujono Gang Alhalim Kiri No.1 sebagai usaha. Anak saya bilang, boleh asal mamak senang. Akhirnya saya buka tahun 2010 itu. Makanya di sini namanya Saudur Sadalanan. “Ini diambil dari bahasa Mandailing. Sama-sama sejalan,” katanya.

Saat ini, usahanya memang tak hanya corak etnis Sumut, ada juga motif bunga-bunga biasa. “Sampai sekarang sambutan publik sangat baik. Tidak hanya motif etnis, yang bunga-bunga juga ada penggemarnya,” ucapnya.
Untuk menyelesaikan satu kain batik butuh dua hari, namun untuk keseluruhan proses bisa sepuluh hari. “Yang paling rumit dari daerah itu etnis dari Batak Toba. Karena tali sulurnya tumbuh-tumbuhan. Tapi kami tetap punya target sebulan 1000 kain batik, walaupun hanya siap kadang hanya 850 kain,” ujarnya.

Nurcahaya mengakui tidak banyak kendala dalam proses usahanya. Kain katun sebagai media batik dipesan dari Solo. “Barangkali tidak terlalu banyak kendala. Bedanya dulu sering ada kendala dana enggak cukup, kalau sekarang kalau orang pesan kami sudah ada stok. Bisa dibilang tahun inilah kami bisa merasakan balik modal. Jadi kalau dibilang proses sampai jatuh bangun tidak ada, tapi memang perkembangannya pelan. Tahun 2011-2011 sudah mulai dikenal bagus oleh publik,” bebernya.

Dia juga sudah punya langganan tetap untuk instansi pemerintah, seperti dinas koperasi, dina pariwisata juga Pertamina. “Kami berharap tidak hanya bicara soal untung untuk pribadi juga ibu-ibu di lingkungan ini, tapi juga sumbangsih dalam mengembangkan budaya daerah Sumut,” pungkasnya. (nina rialita)

* Terbit di Majalah Inspirasi Usaha, Edisi November 2012

Roma Girsang-Menjadikan Ulos Lebih Fashionable

Menjadikan Ulos lebih Fashionable

pic : nina

pic : nina

Jika selama ini kain ulos khas etnis Batak hanya digunakan saat ritual dan seremoni adat, di tangan Roma Girsang, ulos bisa lebih merakyat. Dari ide kreatifnya, bahan baku kain ulos terciptalah tas, rompi, dan berbagai suvenir lainnya. Pasar meresponnya dengan baik, pelanggannya bukan hanya dari Indonesia tapi juga dari luar negeri, Eropa, Amerika dan tentu Asia.

Roma mengawali kisahnya terjun ke bisnis bernama Kriya Ulos ini tahun 2008, atau dua tahun setelah dia membuka usaha Rawigi Craft, usaha kerajinan berbahan kulit asli. Usaha dari berbagai produk kulitnya berkembang pesat. Namun suatu ketika dia ikut pameran di luar daerah. “Banyak orang bertanya asal daerah saya, begitu saya bilang dari Sumatera Utara, mereka menggugah batin saat mempertanyakan mengapa saya tidak membuat produk yang juga bisa mengangkat budaya tanah kelahiran. Mereka bilang, Sumatera Utara kan ada ulosnya, mana kok enggak ada ditampilkan. Mulai dari situ saya terinspirasi,” ujarnya kepada saat ditemui di galeri usahanya di Jalan Teratai No 14 Medan.

Berangkat dari itu, Roma langsung terbang ke Medan dan mendapati banyak ulos milik ibunya di lemari. “Karena bagi orang Batak, ulos adalah lambang kasih sayang. Hanya digunakan di pesta dan acara ritual. Lalu aku ambil satu per satu dan kujadikan tas,” timpalnya.

Tak disangka, kreasinya itu disambut positif, pelanggannya bukan hanya etnis Batak tapi juga lebih memasyarakat, banyak etnis Thionghoa dan suku-suku lainnya yang suka menggunakan produk berbahan ulos ini. Untuk mendapatkan produk yang beda, peremuan berusia 45 tahun tidak membuat produk yang sama dalam jumlah yang banyak. Satu model dipastikan dengan warna berbeda-beda. “Sesuai jiwaku yang ekspresif, aku padukan ulos yang kebanyakan warna gelap dengan warna jreng. Aku senang sekali, karena yang membeli bukan orang Batak saja, ada orang China, Jawa dan dari Indonesia bagian Timur, makin semangatlah aku mendesainnya. Berkembang sampai pembelinya banyak dari kalangan instansi dan jadi oleh-oleh khas Medan selain Medan dikenal dengan makananannya. Sebagai putri Batak itulah sumbangsihku terhadap budaya,” bebernya.

Perempuan yang masih single ini mengaku tidak begitu kesulitan memulai usaha ini. Roma yang sudah punya pangsa pasar sendiri di produk kulitnya hanya memperkenalkan ulos ke konsumennya. “Bisa dibilang memasarkan ulos ini tidak dari nol. Aku perkenalkan ke pelanggan produk kulit, bahwa aku punya produk yang mengangkat budaya di Indonesia dari kain tenun ulos. Dan luar biasa sambutannya,” ujarnya. Bedanya, jika untuk usaha berbahan baku kulit, Roma memasarkannya ke luar negeri seperti Amerika Serikat, China, Jerman dan negara Eropa lainnya, sedangkan ulos sampai ke negara tersebut lantaran beli di Indonesia dan banyak beli lewat internet dan dikirim ke luar negeri.

Produk berbahan baku ulos ini disebut anak keempat dari enam bersaudara ini sedang naik daun. Dalam sebulan hampir 2000 tas diproduksi dan 60 persen terserap di pasar. Belum lagi suvenir, contohnya penghias rambut sebulan diprodukdi 10 ribu produk, 3000 gelang, 1500 undangan batak dan lainnya. Dan, kadang habis terjual jika ada pesanan membludak. Untuk bahan bakunya, buah hati pasangan Liman Girsang, Katarina Barus ini menggandeng penenun, tapi bahan dasar dipilihnya sendiri. Seperti benang untuk tenun ulos dibeli dari Bandung dan Jakarta dengan kualitas yang terjaga. Untuk kain ulos dijualnya dari harga Rp50 ribu hingga Rp3 juta, tas dari Rp90 ribu sampai Rp350 ribu dan suvenir dari Rp5 ribu sampai 27 ribu. “Kriya Ulos memang sedang gencar-gencarnya. Dalam sebulan bisa mendapatkan omset Rp27 jutaan,” ujarnya.

Kesibukkanya di produk ulos, Roma mengaku tak melepaskan produk kulit. Dalam sebulan, dia tetap memproduksi 1500 produk kulit berupa tas, dompet, tali pinggang, gelang, bando dari kulit biawak, ular, ikan yang bahan bakunya didapatkan dari seluruh Sumatera Utara dengan omset puluhan juta. Kini, galerinya penuh dengan dua produk berbahan ulos dan kulit.

Perempuan kelahiran 16 April ini mengatakan, terjun di dunia bisnis fashion ini sejak 2006 karena enggak ada pilihan. Istilah ini disebutnya lantaran sejak SMA suka penyuka desain. “Sejak sekolah aku tahu jiwaku di bidang desain. Tapi tahun 1980-an, desain itu dianggap bukan sekolah, aku kemudian dimasukkan sekolah bidang ekonomi. Cita-citaku saat itu sempat memudar. Apalagi, setelah tamat sekolah aku langsung kerja di berbagai bidang, properti, asuransi, real estate, perbankan hingga akhirnya di perusahaan pupuk di Riau tahun 2000,” kenangnya.

Menjalani empat tahun di Riau, Roma mendapati banyak petani di sana memburu ular karena sebagai hama, ular memakan janjang sawit.Ular diburu agar tidak menggagalkan panen sawit. Melihat itu, Roma berpikir, sayang sekali ular-ular yang diburu itu. “Aku liat kok dibuang sayang. Di sana, aku banyak berteman dengan transmigran dari Jawa. Mereka memberi tahu kalau mau mengolah kulit ular hanya tinggal beli mesin bekas. Dari situ, aku habiskan Rp500 ribu itu untuk mesin dan bahan kimianya,” tutur perempuan yang kini juga acapkali didaulat sebagai motivator di bangku sekolah, kuliah dan instansi ini.

Memulai kreativitas dengan produksi awal sepuluh tas dari kulit dijualnya ke relasinya di perusahaan. Tak disangka, kesepuluhnya laris. Dia membuat 50 tas juga habis. “Aku heran kok bisa selaris ini, aku cek internet, ternyata pasarnya mendunia. Jadi pulang ke Medan, aku langsung buat di rumah. Aku membawa transmigran yang mengajari soal mengolah kulit ular ini. Kemudian, aku memasarkan ke konsulat-konsulat di Medan. Aku jemput bola, aku enggak mau, karena aku enggak mengemis dan akhirnya sampai sekarang sudah mendunia produk ini,” ucapnya.

Bisa sampai tahap ini, Roma memegang kunci sukses yakni saat berbisis gunakanlah seluruh kekuatan pikiran, hati semua indra. “Tidak usah dengar kanan kiri terutama yang miring dan malah membuat kita pemisis. Harus maju terus, tekad. Selanjutnya, usahakan jangan sampai menunggu produk sempurna baru dijual. Jual saja, karena berjalan dengan waktu dari pembelilah kita baru tahun kekurangan produk kita seperti apa dan ke depan akan menjadi sempurna. Selain itu, jadikanlan pembeli adalah teman bukan sekadar lahan mendapatkan uangnya,” ungkapnya. (nina rialita)

Terbit di Majalah Pengusaha Indonesia, Edisi Desember 2012