Pondok Halua Delima

Sumatera Utara daerah dengan sejuta pesona kuliner. Di sini, banyak jenis makanan yang menggugah selera, satu di antaranya cemilan khas melayu. Adalah Harimah, perempuan berusia 42 tahun yang masih mempertahankan usaha dengan mengandalkan manisan khas melayu yang biasa disebut halua. Ima-begitu sapaan akrabnya mengubah sayur-sayuran yang pahit dan pedas menjadi panganan manis dan nikmat.

foto/ist

foto/ist

Di lokasi usahanya bernama Pondok Halua Delima, Jalan Flamboyan Raya Lingkungan III, Nomor 109, Medan, Ima menjajakan 20 jenis halua dari sayur dan buah serta kue-kue tradisional melayu. Di antaranya, cabai merah, pepaya, bunga pepaya, asam glugur, buah renda, jeruk kesturi, tomat, labu jepang, nenas, paria, kolang kaling, wortel. Dan, kue-kue khas melayu yang hampir punah di pasaran seperti bika kampung, kue danga, rasida, penyaram.

Ima mengaku dengan pilihan cemilan khas melayu ini sudah minim kompetitior dan tetap bisa bertahan sejak membuka bisnis tahun 2002 lalu. Ima mengatakan kepandaiannya membuat manisan dimulai sejak masa sekolah menengah pertama (SMP). “Saya hobi buat kue, manisan. Enggak tahu begitu suka, hobi dan enggak ada yang mengajari bahkan tidak dari orang tua. Otodidak. Pernah saya buat dengan modal Rp25 ribuan di tahun 1990-an, untungnya saya belikan jam,” ujarnya sambil tertawa.

Manisan-Haluwa Delima (20)

Kemudian, tanpa disangka buatan tangan anak tamatan SMA ini malah diminati. Ima kemudian ikut dengan saudaranya di sebuah pameran dengan produk haluanya. “Di tahun 2001, saya pas pameran ketemu Ibu Rizal Nurdin (istri almarhum Tengku Rizal Nurdin, gubernur Sumatera Utara). Dia bilang buatan saya bagus dan meminta saya bergabung dengan Dekranas, kemudian dari situlah saya memulai semuanya sebagai bisnis,” kenangnya. Nama Halua Delima dijadikan tajuk karena bahasa melayu manisan adalah halua. Dan halua ini khas Melayu Deli buatan Ima.

Kali pertama membuka usaha, Ima memang punya misi khusus bagaimana sayuran yang pahit dan cabai yang pedas bisa dinikmati dari segala umur termasuk anak-anak yang terkenal tidak doyan sayur. “Saya inovasikan manisan dari sayur untuk jadi cemilan yang renyah dan rasa pahitnya hilang. Sampai sekarang ada 20 item manisan dan saya kembangkan lagi kue-kue melayu. Kalau untuk manisan paling terkenal itu cabai. Tapi halua (manisan) lainnya juga banyak peminatnya hampir rata,” jelasnya.

Bermodalkan Rp100 ribu membeli bahan baku gula, sayuran dan buah untuk membuat halua, Ima serius dalam bisnisnya. Dia tidak butuh aset berupa alat-alat mahal pendukung usahanya. Karena semua dibuat sendiri dan rumahan, dia hanya membutuhkan toples untuk menempatkan halua yang siap dijajakan. “Pertama dari Rp100 ribu bisa dapat Rp600 ribu, kemudian Rp2 juta ketiga Rp4 juta dan sekarang kalau lagi banyak pesanan seperti lebaran bisa dapat omset Rp40 juta,” bebernya. Saat ini, rata-rata sebulan memproduksi 100 kg halua untuk semua jenis. Jumlah ini meningkat jika jelang lebaran yang mencapai 500 kg.

Perempuan ramah ini mengatakan meski sudah berjalan tahunan, kendala pemasaran masih tetap ada. Karena, halua dan kue-kue khas melayu ini, lanjut Ima masih banyak orang yang tahu. Untuk halua misalnya proses pembuatan meski sederhana butuh waktu yang cukup lama, mencapai tiga minggu bahkan satu bulan baru selesai. “Proses pembuatannya sulit sehingga harganya high class. Butuh tiga minggu sampai satu bulan, tapi tahan lama sampai setahun haluanya. Karena murni gula sebagai pengawetnya,” ucapnya. Untuk perbandingan bahan baku dan gula, dalam pembuatannya Ima mengunakan 1 : 2. Tapi, sekarang harus 1 : 3, menurut Ima ini terjadi karena kualitas gula yang kian lama tak semanis dulu lagi. Selain itu, untuk halua cabai, kalau harga melonjak Ima kesulitan. Sebab, Ima menggunakan cabai dari Pulau Jawa yakni cabai gombong yang besar. “Kalau harga mahal, maka dari cabai dari Pulau Jawa enggak mengirim kemari (Medan). Kalau pakai cabai sini tidak bisa, karena di sini cabainya kecil dan keriting,” timpalnya.

Namun, perempuan yang sempat ikut trainning ke Jepang tahun 2004 ini mengatakan prospek halua masih sangat cerah. Masih banyak permintaan konsumen yang datang langsung ke tokonya untuk dijadikan oleh-oleh. Banyak pejabat dari dinas luar Sumatera Utara yang singgah ke tempatnya dan memborong halua. Belum lagi, halua buatannya sudah masuk supermarket dan toko-toko roti di Medan. Permintaan ekspor dinafikannya, lantaran pasar Indonesia sangat menjanjikan. “Saya tahun 2004 pernah menerima tawaran ekspor ke Singapura tapi saya rasa ribet. Jadi saya fokus ke pasar Indonesia saja, Singapura belum tentu lidahnya sama dengan kita. Sedangkan di Indonesia ada 250 juta penduduk yang bisa digarap dan lidahnya itu sudah pas dengan produk yang saya buat,” bebernya.

Di toko yang buka sejak pukul 08.00 WIB hingga 22.00 WIB ini, Ima melayani pembelian partai besar dan kecil. Konsumen bisa membeli halua kiloan, di mana satu kilo dengan harga Rp100 ribu sampai Rp350 ribu, termahal ada di harga halua cabai. Ada juga bentuk kemasan 250 gram dengan harga Rp35 ribu. “Tergantung konsumen mau beli berapa, satu ons pun saya layani,” lanjutnya. Ima tidak punya target muluk-muluk, ke depannya selain mempertahankan kuliner tradisional Melayu, dia hanya ingin mensejajarkan produknya sebagai jajanan atau oleh-oleh khas Medan. (nina rialita/terbit di Majalah Inspirasi Usaha Edisi Mei 2013)

Pondok Halua Delima
Alamat : Jalan Flamboyan Raya Lingkungan III, Nomor 109, Medan, Sumatera Utara
Nomor Telepon : 08126464430

Rumah Cemilan JavaKS-Usaha dari Hobi Ngemil

Foto Produk JavaKS (2)

Di balik sukses seorang suami, selalu ada perempuan hebat di belakangnya. Figur yang selalu mendukung dan selalu siap untuk berdiskusi untuk kemajuan produk. Inilah yang dikembangkan pasangan Eko Sukmawan dan Juli Ramadhani, dengan ide mendirikan Rumah Cemilan JavaKS sejak 15 Mei 2010.

Keduanya yang sudah saling kenal saat itu dan belum terikat pernikahan, mengamini niat Eko untuk membangun Rumah Cemilan. “Saya hobi mengemil sejak masih lajang. Bahkan sejak tahun 2007, dalam seharinya saya bisa belanja cemilan sampai Rp200 ribu untuk memenuhi nafsu memakan cemilan,” ujarnya.

Tiga tahun kemudian, Eko mulai berpikir bahwa begitu banyak uang yang dihabiskan untuk belanja cemilan. “Muncul ide tiba-tiba dan saya berpikir kenapa enggak saya jadikan saya hobi cemilan ini ke arah bisnis. Saya cerita ke pasangan saya, yaitu istri saya tercinta dan dia mendukung. Apalagi, saya mendapatkan pasangan yang pintar memasak, jadi semuanya serba klop,” timpalnya.

Foto Owner JavaKS

Produk yang ditawarkan adalah emping melinjo, kue bawang, keripik ubi, kue merku dengan berbagai varian rasa. Kue bawang dengan rasa original, bayam, buah bit, wortel, labu keju, brokoli, kari, rendang. Untuk keripik singkong dengan rasa original, balado, barbeque, abon sapi, rumput laut, rujak, pizza. Lalu ada emping melinjo dengan rasa original, asin, serta kue merku dengan rasa manis dan asin. “Dengan rasa yang beraneka raga, masyarakat banyak yang ingin tahu dan penasaran. Misalnya, seperti apa ya kue bawang dengan rasa kari, rendang atau yang lainnya. Dalam proses pembuatan kami juga menjaga kesehatan dengan tanpa pengawet,” ucap Eko.

Lalu, Eko mulai mencari nama-nama yang unik untuk usahanya. Punya pasangan dengan latar belakang etnis batak dan Eko sendiri suku Jawa, akhirnya dia resmi menamai usahanya JavaKS. “Kembali ide nyeleneh saya muncul untuk memberi nama usaha ini dari penggabungan dua budaya yang berbeda. Dan nama usaha kami ini adalah “Rumah Cemilan JavaKS” di mana nama JavaKS adalah sebuah perwakilan dari saya yang berasal dari Jawa (Java) dan istri saya sendiri yang berasal dari suku batak dengan marga Sitompul maka saya beri inisial KS (Keluarga Sitompul),” ungkapnya.

Sejak awal sebelum menikah, keduanya sudah saling sharing bagaimana mengemas sebuah produk yang baik dengan cita rasa yang wah dan beda dari yang lain. Usaha semakin serius ketika keduanya menikah di tahun 2011. Tugas pokok kerja masing-masing pasangan kian jelas. Sang istri bertugas menjaga rasa dan meramu menjadi produk yang baik, sedangkan suami bertugas bagian menjual. “Sebenarnya tugas kami berdua saliang bantu. Ya istri memasak, saya urusan menjual dan promosi tetap kami berdua,” bebernya.

Foto Produk JavaKS (4)

Pada awal pembuatan usaha ini, keduanya bermodalkan Rp3,5 juta dan merintis bisnis cemilan tersebut di Jalan Tanjung Permai Raya 1 Tanjung Gusta. Selain ingin merealisasikan hobi dalam bentuk usaha, keduanya juga ingin mennciptakan lapangan kerja. “Kami memulai usaha ini dengan menggunakan modal sendiri tanpa bantuan dari pihak manapun, dengan modal awal Rp 3.5 jt kami memulai merintis usaha kami ini berdua. Walaupun di awal-awal usaha, kami masih banyak mengalami kendala dan masalah tetapi kami tetap konsen untuk menjalaninya. Alhamdulillah Allah SWT memberikan jalan kami bertemu dan bergabung dalam sebuah wadah yang membantu kami untuk mengembangkan jiwa kewirausahaan kami,” ungkap pria kelahiran Binjai, 15 Oktober 1979 ini.

Eko dan Juli bergabung dengan sebuah lembaga bernama Pusat Inkubator Cikal Universitas Sumatera Utara (USU). “Dari sini, usaha kami perlahan namun pasti megalami kemajuan yang signifikan. Kami banyak mendapatkan bantuan dari Inkubator Cikal USU termasuk dari sisi pemasaran dan juga manajemen pengelolaan usaha. Selain memasarkan secara langsung ke konsumen, kami juga mempromosikan produknya melalui facebook,” lanjutnya.

Awalnya, usaha dengan motto ‘Rasa Adalah Segalanya” ini hanya memasarkan 30 bungkus dalam satu minggu dengan harga mulai Rp5 ribu hingga Rp55 ribu per bungkus. Namun, seiring dengan perjalanan waktu, produksi perharinya mencapai 20 kg bahan baku dan dipasarkan di wilayah Medan dan Binjai dengan omset Rp7 juta per bulannya.

Foto Produk JavaKS (5)

Eko mengaku tak banyak kendala berbisnis dengan dua kepala dalam rumah tangga. Istrinya, menurut Eko cukup paham dan orang yang gampang diajak berbicara tentang target bisnis ke depan. “Sejauh ini kami enggak menemui kendala soal usaha suami istri, intinya mau berkomunikasi saja,” timpalnya.

Namun, secara bisnis, Eko menambahkan kendala terjadi pada kapasitas produksi, yang terkadang tidak sanggup memenuhi permintaan pasar. “Ini masih jadi kendala dan akan kami bicarakan solusi ke depannya, karena kami yakin usaha ini bisa terus bertahan,” pungkas Eko yang bersama istrinya sempat memiliki anak Alm Nazwa Dyandra Putri Sukmawan ini. (nina rialita/terbit di Majalah Pengusaha Indonesia, Jakarta, Maret 2013)

JavaKS
Pemilik : Eko Suratman
Alamat : Jalan Tanjung Permai Raya No. 1 Dusun IV
Kelurahan Sukadono Tanjung Gusta Medan 20125
Komp. Perumahan Tanjung Permai
No Hp : 0853-6000-1077

Lezzatos Cake & Chocolate

Saat ini, tampilan kue tidak lagi monoton. Layaknya bentuk asli, kue buatan produk rumahan buah karya tangan pasangan suami istri M Hendra Nugraha (36 tahun) dan Aurora Azura (34 tahun) menyerupai detail rupa yang diinginkan konsumen. Semua bagian kue bisa dimakan, entah itu foto yang ada di atas kue sampai wanita nan cantik ala barbie. Konsumen dari Medan tidak lagi perlu jauh-jauh ke Jakarta memesan kue ini, cukup ada di Medan!

Lezzatos Owner-Aurora dan Hendra (6)

Di Medan, usaha kue bernama Lezzatos Cake & Chocolate ini sangat dikenal. Seperti namanya, kue ini tidak hanya enak dipandang tapi juga nikmat disantap. Keduanya membaca peluang merintis usaha ini setelah di tahun 2008, saat melihat ada peluang untuk memulai eatable foto (foto yang bisa dimakan). “Belum pernah ada kami lihat di Medan, kami melihat kue tersebut di Jakarta. Kalau di sini, sekadar kue banyak. Kami menawarkan yang unik dengan menggunakan foto. Foto tersebut menggunakan tinta makanan dan kertasnya, kami ambil dari Jakarta, karena di Medan belum ada,” ujar Aurora yang mengaku suka membuat kue.

Lezzatos-produk (1)

Awalnya, pasangan suami istri yang merupakan alumni arsitek Universitas Sumatera Utara (USU) ini menjalankan usaha kue sebagai bisnis sampingan, karena masih terikat sebagai kontraktor. Di sela kesibukkan, keduanya memulai foto eatable. Tak disangka, lama-lama berkembang. Dari foto eatable kemudian mengembangkan ke cake yang dibuat menyerupai asli. Mereka browsing tema dari internet, juga melayani permintaan konsumen dengan baik. “Kebetulan kami punya skill desain. Ada bakat seninya, jadi belajar otodidak,” tuturnya.

Lezzatos-produk (3)

Dalam menjadikan sebuah karya kue, Hendra mengaku harus berjam-jam mengcarving atau memahat kue agar seperti aslinya. “Ini yang membuat konsumen suka. Misalnya kami buat tas, ya benar-benar kayak tas. Banyak konsumen memberikan testimoni tentang hasil karya kue ini,” timpalnya.
Untuk proses pembuatan cake dasar tidak terlalu banyak kesulitan layaknya membuat bolu biasa dengan bahan dasar tepung, telur, gula, mentega dan lainnya. Yang mahal dan sulit ada diproses carving dengan bahan lapis pondan yang aman dikonsumsi. Hendra bisa melakukan setengah hari dan kadang seharian juga. Untuk cake 3D dijual dengan harga Rp600 ribu hingga termahal Rp900 ribu. Harga ini sempat menjadi perdebatan, misalnya untuk membuat kue tas bermerk, harga kue bisa sampai dengan harga tas aslinya. “Kami mengedukasi konsumen. Banyak yang bilang, kok harganya mahal. Yang bikit rumit proses carvingnya, setelah dijelaskan konsumen mengerti,” tandas Hendra.

Permintaan kian banyak, keduanya tak lagi bisa membagi waktu antara kerja, rumah tangga, anak dan bisnis yang baru dirintis. Secara berani, keduanya memutuskan resign dari kantor dan full menjalankan usaha tahun 2011. “Tahun 2008-2009 memang tidak banyak pesanan, kemudian tahun 2010 peningkatkan terjadi dan konsisten, lalu 2011 kami memilih fokus di usaha ini. Latar belakang utam adalah anak. Saya dulu kontraktor pergi pagi pulang malam. Sekarang saya bisa di rumah selalu mengawasi anak. Abang (suami) juga ingin membangun usaha ini. Kami ikut komunitas Tangan di Atas, ada pencerahan juga kalau bisnis jangan tanggung, usaha ada risiko tapi itu risiko itu bagian dari usaha. Kalau yakin dan kosisten insyaAllah bisa. Nawaitu bismillah,” tegas Aurora.

Konsumen Lezzatos Cake & Chocolate tidak hanya dari Medan dari beberapa daerah luar kota. Untuk menjaga kesehatan pembeli, mereka tidak menggunakan satu bahan pengawetpun. Alhasil, kue hanya bertahan selama tiga hari. Ini juga yang masih jadi kendala mereka untuk mengembangkan usaha ke luar provinsi. “Kelemahannya enggak bisa kirim ke luar kota, kelemahan itu di daya tahan kami enggak pakai pengawet. Packing belum berani. Cuma tiga hari tahan. Ke depan target, kami sebenarnya ingin menemukan produk pendukung tahan lama, paling enggak bisa tahan bisa lima hari. Tapi belum ada, kalaupun ada berbahan kimia dan non halal. Kami harus hati-hati menjaga itu. Dalam proses pembuatan saja kami enggak pakai rum,” beber Hendra.

Lezzatos-produk (5)

Dalam memasarkan kue-kue tersebut, keduanya masih menggunakan jejaring sosial dengan sistem by order. Hingga saat ini belum ada galeri untuk memajang beraneka ragam bentuk, kecuali para pelanggannya bisa membuka facebook dengan nama Lezzatos Cake & Chocolate atau datang langsung ke Kawasan AR Hakim Gang Pertama No 18, Medan. Namun, rumah ini tidak akan produksi kue massal. Semua dibuat, jika ada yang mesan.

Ini bukan tanpa alasan, Hendra ingin produk yang dibawa pulang konsumen adalah fresh. “Kami sistemnya order dulu dengan kesan produk fresh dan personal. Persentase pelanggan 90 persen dari online sisanya dari mulut ke mulut. Ada teman yang sudah pernah beli memberi tahu temannya lalu kalau lokasi dekat memilih datang ke rumah. Ada yang telepon dan menjabarkan mau model apa. Masyarakat Indonesia kan masih belum percaya 100 persen ke bisnis online. Intinya online modal kepercayaan,” tuturnya.

Soal galeri, keduanya sudah memiliki lokasi dan sejatinya akan sudah soft launching Desember 2012 lalu. Tapi, kemudian ditunda untuk mencari lokasi yang lebih strategis dan akses yang bisa dijangkau semua orang. Pelanggan Lezzatos Cake & Chocolate kebanyakkan memang dari usia muda, kemudian remaja yang memesan untuk acara ulang tahun, anniversary, hadiah pacar, dan sekarang sudah merambah usai lebih tua, meski yang mesan anak muda diberikan untuk ibunya dalam rangka hari ibu. “Pesanan per minggu rata-rata bisa lima sebulan paling sekdikit 20. Kami dibantu empat karyawan, yang bakal bertambah jumlahnya jika pesanan meningkat. Terutama kalau ada pesanan cupcakes butuh banyak karyawan. Sedangkan untuk wedding chocolate bisa sebulan sekali dapat pesanan,” beber Hendra.

Dalam urusan bisnis yang melibatkan suami dan istri, keduanya sudah punya jatah tanggung jawab masing-masing. Aurora bagian memanggang kue, Hendra bagian men-carving dan marketting. “Enaknya bisnis berdua itu satu rumah, kalau ada problem bisa langsung sharing. Masalah mengenai desain bisa langsung dirembukkan bagaimana cantiknya. Tetap ada dukanya, masing-masing punya ego yang satu mau ini yang satu itu. Tapi kami yakinkan ini bisnis yang terbaik, namanya usaha ingin berkembang tidak hanya cake melainkan bisnis kuliner di luar cake,”pungkas Hendra. (nina rialita/terbit di Majalah Pengusaha Indonesia, Jakarta, edisi Maret 2013)

Lezzatos
Hendra : 08126444913/ BB : 27F93855

Safril-Budidaya Lele Python di Langkat

TOSHIBA CAMCORDER

Siapa yang tak kenal lele? Ikan dengan kumis panjang ini akrab di telinga masyarakat dan menjadi pilihan untuk usaha. Selama ini varietas lele bertumpu pada lele dumbo dan sangkuriang. Kini, muncul lele jenis baru bernama python yang dikembangkan di Sumatera Utara.

TOSHIBA CAMCORDER

Adalah Safril Ketua Pembudidayaan Lele Python Langkat yang mengklaim lele python lebih menjanjikan dibanding lele dumbo. Safril mengembangkan lele python di kawasan Desa Banyumas, Kecamatan Stabat, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara empat bulan terakhir. Tidak hanya mengedepankan bisnis, Safril membagikan bibit lele secara gratis kepada masyarakat, agar bisa memulai usaha pengembangbiakkan lele python. Kelak, dia ingin Langkat menjadi sentra pembudidayaan lele phyton di Sumatera Utara dan bisa membantu ekonomi rakyat Langkat.

“Kami melihat sentra-sentra ekonomi untuk kerakyatan mana yang bisa lebih membantu income masyarakat. Misalnya untuk membantu uang sekolah anak dan lainnya. Kami melihat lele python pilihan yang bagus,” ujarnya.

Di lahan seluas 1.600 meter dan dengan 24 kolam yang diisi lele, Safril mengungkapkan pilihannya memilih lele python. Berangkat dari keresahannya agar ekonomi rakyat bisa terangkat. Safril bersama beberapa temannya, sepakat membuat budidaya lele. “Kami melihat ikan lele jumbo baru bisa dipanen dalam tiga bulan, ikan gurame selama enam bulan. Kalau lele python hanya satu bulan setengah sudah bisa dipanen dan dijual dengan rata-rata lima sampai delapan ekor satu kilo,” ujarnya di lokasi Pembudidayaan Lele Python, Desa Banyumas, Kecamatan Stabat, Kabupaten Langkat, Sumnatera Utara.

Dia menambahkan, meski varietas baru, lele python tidak sulit dipelihara. Lele Phyton merupakan perkawinan silang antara Lele Afrika dan Lele Thailand. Hampir sama dengan lele pada umumnya, namun tingkat kematian lele ini hanya 5-10 persen. Persentase rendah ini tercapai, karena sejak kecil sudah diberikan imune. Salah satu indikator tingginya kualitas lele phyton bisa dilihat dari konversi pakannya. Memiliki FCR (Food Convertion Ratio) 1:1, maka satu kilogram pakan yang diberikan kepada lele phyton juga akan menghasilkan sekilo daging. Bandingkan dengan FCR milik lele sangkuriang yang punya perbandingan 1: 0,81.

“Sejak bayi sudah kami berikan imune berupa super tetra, agar bisa aman terjamin. Lele ini lebih lincah dibanding lele lainnya dan bentuknya agak ramping. Kalaupun lele ini berkelahi sesama jenisnya, dan ada yang luka kena patil, maka lukanya cepat sembuh,” timpalnya.

Untuk bisa mengembangkan budidaya lele ini, mantan anggota DPRD Langkat periode 1999-2009 ini harus terbang ke Kabupaten Pandeglang, Banten. Daerah ini menjadi sentra pembudidayaan lele python kali pertama di Indonesia. Di Padeglang, Ketua PDIP Langkat serius mempelajari detail cara pembudiyaan lele ini langsung dari para ahli. Kurang lebih dua minggu, bapak lima anak ini berada di Padeglang.

Setelah itu, saat kembali ke Sumatera Utara, Safril membeli 10 pasang indukkan untuk dikembangkan. Satu indukan dibelinya Rp3 juta. Tak disangka, sampai di Medan, wilayah pembudidayaan yang sudah siap pakai, langsung difungsikan. Lele tersebut sukses dipanen dan sudah punya ribuan bibit.

Sejak sebulan lalu, di peresmian lokasi pembudidayaan ini, Safril mengenalkan dan membagikan bibit lele ini untuk dimanfaatkan warga. Masing-masing kelompok masyarakat peternak ikan mendapatkan 500 ekor bibit dan memberikan penyuluhan gratis kepada masyarakat yang ingin tahu bagaimana cara memelihara lele ini.
Sejatinya, kata Safril, Langkat bukan daerah pertama di Sumatera Utara yang mengembangkan lele ini. Sebelumnya, Safril membuka di Batubara, sayang karena kurang dukungan, Safril lantas membuka di Langkat dan tak dinyana sukses sesuai target, bisnis dan misi sosial. “Sekarang, ini jadi yang pertama di Sumatera Utara,” ungkapnya.
Safril tidak meragukan pangsa pasar lele jenis baru ini. Meski masih samar terdengar di Sumatera Utara, dia yakin usaha ini sangat menjanjikan dibanding lele jenis lain. Di Pandeglang saja, lele jenis ini sudah menjadi pilihan dalam usaha lele penyet atau pecal lele.

Satu yang menjadi keunggulan varietas lele ini tak lain produktivitas tinggi mencapai 30 sampai 50 ribu sekali bertelur. Dengan stok yang kini dipunyai Safril mencapai 300 ribu ekor ikan, sudah banyak permintaaan dari daerah lain. Aceh, Pekanbaru sudah mengirimkan permintaan 75 ribu ekor. “Provinsi lain sudah meminta pesanan sampai 75 ribu ekor, namun kami belum bisa memenuhi semua. Karena, kami harus pastikan di Sumut dulu,” tegas mantan pemain klub sepakbola Indonesia, PSMS Medan era 80-an ini.

Dia mengurai dalam 1000 ekor lele ini, masyarakat sudah bisa mendapatkan paling sedikit Rp800 ribu sekali panen. Dalam 1000 ekor bisa menghasilkan 120 kg lele. Jika lele dumbo dijual Rp15 ribu per kilo, maka lele python cukup Rp12 ribu per kilo saja sudah menguntungkan. Satu bibit lele dijual Safril seharga Rp100 sampai Rp400 tergantung jenis. Untuk bibit lele 06 dihargai Rp100, 08 Rp200, 010 Rp300 dan 012 Rp400. Harga bibit ini memang terbilang sangat murah. Harga yang disengaja, agar masyarakat mampu membeli. Untuk bibit 012, lanjut Safril sudah termasuk bibit unggul yang bisa dipanen sebelum masa sebelum setengah.

“Di luar sumbangan bibit gratis, jika untuk masyarakat ingin membeli 1000 ekor bibit menghabiskan dana Rp200 ribu ditambah pakan Rp500 ribu, jadi biaya hanya Rp700 ribu. Sementara dengan harga jual Rp12 ribu per kilo sudah bisa menghasilkan kurang lebih Rp1,5 juta. Makanya saya bilang ini menguntungkan. Kami juga menerima hasil panen warga, jika mereka kesulitan memasarkannya,” ungkapnya.

Pria kelahiran 11 Agustus 1960 ini mengatakan, dari 24 kolam yang dibuat di lokasi pembudidayaan sudah 12 kolam yang habis, lantaran dibagi-bagikan ke warga. “Jadi konsepnya, kami berikan gratis ke masyarakat hanya untuk kali pertama. Kami tidak akan berikan untuk orang yang sama kedua kali. Saya memang tidak terlalu memikirkan profiit dulu saat ini, yang penting masyarakat Langkat bisa ikut membudidayakan lele ini dan bisa menambah penghasilan keluarganya. Semoga lele ini juga bisa jadi komoditi yang terkenal dari Langkat,” bebernya.

Namun, Safril tidak menutup peluang bagi masyarakat di daerah lain di Sumatera Utara yang ingin mendapatkan bibit gratis darinya. “Boleh, dari daerah lain boleh minta. Akan kami berikan, sepanjang benar-benar dipelihara dan dikembangbiakkan,” tuturnya.

Alumni IAIN Padang ini mengatakan awal membangun Sentra Pembudidayaan Lele Python di Langkat, menghabiskan dana Rp50 juta. Ini mulai dari pembuatan kolam, bibit, dan biaya operasional lainnya. Untuk kolam, Safril tidak hanya bertumpu pada kolam tanah dan batu, namun dia memanfaatkan bahan plastik terpal berwarna biru. “Jadi tidak harus repot kalau memang mau. Jika lokasi di rumah terbatas, tinggal ambil bambu dan dirangkai sederhana dan dialasi terpal sudah bisa kok,” timpalnya.

Nina-Lele Python bang Safril (6)

Saat memulai ini, Safril juga sempat mengalami kendala, yakni kehilangan indukkan yang dari pertama dia beli di Pandeglang lantaran hanyut saat hujan deras di lokasi. “Ada yang sudah sebesar anak bayi, tapi hanyut saat banjir besar. Saya perkiraan kolam tidak akan menguap, rupanya salah prediksi. Tapi sekarang sudah diantisipasi,” tukasnya.
Soal nama lele ini, Safril mengaku cukup unik. Selain sudah dikenal di Pandeglang, dia suka menyebutnya sebagai lele yang fit dan lincah dengan beratnya ber ton-ton. “Rasanya juga lebih enak, karena lele ini gesit. Jadi kandungan lemak di dalam tubuhnya sedikit. Apalagi, lele mengandung omega tiga yang baik untuk tubuh,” ucapnya.

TOSHIBA CAMCORDER

Safril mengaku modal awal Rp50 juta itu tidak jadi masalah, melihat antusias warga sangat luar biasa, termasuk Bupati Langkat, Ngogesa Sitepu. Bupati juga hadir dalam peresmian lokasi sentra pembudidayaan lele python ini. Beliau memberikan apresiasi kepada Safril, karena mau berkreasi dan berbuat untuk menaikkan pendapatan masyarakat melalui budidaya lele ini. Pada saat peresmian tersebut, Ngogesa Sitepu bahkan memberikan bantuan Rp20 juta kepada Safril dkk untuk pembuatan pakan lele (pelet) agar bisa berguna bagi semua masyarakat. (nina rialita/terbit di Majalah Pengusaha Indonesia, Jakarta, November 2012)

Nomor HP Safril : 087882199522/08126560682

Aisyah Collection Flanel-Murah Modalnya, Omsetnya Konsisten

Flanel Aisyah (1)

Membangun sebuah bisnis tidak hanya selalu bicara soal modal besar. Namun, di dalamnya butuh kemauan yang besar dan yakin dengan yang dijalankan. Inilah yang membuat Aisyah Collection Flanel bisa bertahan dan memiliki pelanggan yang konsisten hingga Pulau Kalimantan.

Si pemiliknya, Nur Aisyah Barus membangun kreasi berbahan baku kain flanel sejak tahun 2010. Dengan bermodalkan Rp300 ribu, Aisyah terjun ke bisnis ini dan mengkreasikan berbagai macam pola menjadi produk apik. Di antaranya, bando, topless, tempat pensil, sendal, gantungan kunci, wadah tisu, celengan dan banyak lainnya.

Perempuan berusia 28 tahun ini mengaku pilihannya memulai bisnis flanel secara otodidak. Dia melihat banyak tips yang ditawarkan di internet tentang bagaimana memanfaatkan kain flanel yang terbilang murah. Berbekal skill menjahit, Aisyah rela meninggalkan pekerjaannya sebagai accounting di sebuah Koperasi Syariah selama empat tahun untuk fokus menjadikan flanel sebuah home idustry sembari bisa menjalankan perannya sebagai ibu yang baik. “Sejak awal saya enggak ada kepikiran untuk usaha flanel. Namun, tahun 2010 saya baru melahirkan anak pertama saya. Saat usia bayi sebulan, saya memutuskan untuk berhenti kerja agar bisa menjaga anak. Lalu saya banyak baca di internet tentang usaha flanel. Awalnya, saya buat celengan dan ternyata keluarga pada suka,” ungkapnya.

Dari satu celengan, kemudian berubah menjadi hobi membuat karya dari flanel dan serius menekuninya menjadi bisnis. Aisyah mengaku tak banyak kendala saat memulai usaha ini, dengan modal Rp300 ribu, Aisyah mulai memasarkan produknya ke teman terdekat, via facebook, blackberry. Sedangkan untuk bahan selain flanel terkadang dibelinya dari Jakarta, semisal rangka bando. “Pelanggan pertama adalah keluarga dekat, tetangga dan mantan teman kerja dan teman kerja suami. Pemasarannya banyak dari mulut ke mulut,” timpalnya.

Saking banyaknya pesanan, Aisyah yang memproduksi barang di Jalan Tanjung Bunga I No.21 B Simpang Limun, Medan, Sumatera Utara tak pernah bisa menstok barang yang kini sudah ada 25 model. Dia mengerjakan pesanan sesuai orderan yang rutin setiap bulan. Suatu waktu, dia pernah memajang karyanya di teras rumah, namun hanya sebentar saja sudah laku terjual oleh tetangga dekat rumah. “Jadi saya lebih banyak mengerjakan pesanan orang dan mengikuti bazar. Kalau galeri Aisyah Collection Flanel sih inginnya ada, tapi untuk saat ini belum bisa, karena kami masih disibukkan dengan orderan,” lanjutnya.

Per bulan bisa 20-an konsumen yang minta dibuatkan beragam produk yang jumlahnya bisa mencapai ribuan. “Kadang satu orang bisa memesan berbagai macam. Konsumen yang memilih bentuk, warna semua sesuai keinginan konsumen. Kalau suvenir bisa penuh sampai ribuan setiap bulan. Tapi, saya selalu memegang prinsip, mau banyak atau sedikit yang dipesan konsumen tetap kami buatkan,” tegasnya.

Untuk mengerjakan pesanan, Aisyah dibantu oleh satu orang asisten tetap dan kadang oleh keluarganya yang terkadang harus begadang untuk menyiapkan pesanan sesuai tenggat waktu. Untuk satu produk, harga termurah bisa dibeli dengan Rp1000 dan termahal Rp55 ribu. Dalam membangun usahanya ini, Aisyah sudah bisa balik modal dalam empat bulan dan kini omsetnya Rp4 juta sebulan. “Ini modalnya murah dan harga jualnya juga murah. Konsumen sudah paham tentang bahan baku kain flanel yang terjangkau. Jadi, untungnya tidak begitu besar memang, tapi bagi saya yang penting konsisten dan rutin pesanan setiap bulan,” bebernya.

Flanel Aisyah (5)

Ibu dua anak ini menjelaskan, saingan dalam usaha flanel memang banyak. Selain cara membuatnya bisa dipelajari via internet, sudah banyak sekali ibu-ibu yang juga memilih usaha sama dengannanya. Namun, Aisyah yakin konsisten dan kualitas produk menjadikan usahanya bisa bertahan. Alhasil, produk Aisyah bisa menembus pasar luar Sumatera Utara, seperti Jambi, Palembang, Riau, Tasikmalaya, Bekasi hingga Kalimantan. “Saya sangat memperhatikan kualitas jahitan, dan optimis dengan yang saya kerjakan serta konsisten. Alhamdulillah, sejauh ini bisa bertahan dengan baik,” ungkapnya.

Kini tidak hanya dirinya yang memutuskan menjadi pebisnis, di rumahnya tersebut sang suami juga membuka usaha percetakan undangan. “Jadi saling mendukung usaha masing-masing,” pungkasnya. (nina rialita/terbit di Majalah Pengusaha Indonesia, Jakarta, edisi Maret 2013)

Flanel Aisyah (3)

Aisyah Flanel
HP : 081264294669

Tia Evitawati-Dari Modal Rp100 Ribu Sukses di Usaha Rajut ‘CnK’

Rajut Handmade by Evita (1)

Rajut Handmade by Evita (5)

Jangan pernah anggap angin lalu pelajaran yang Anda diterima di bangku sekolahan. Kelak, ilmu tersebut bisa menjadi ladang bisnis yang menggiurkan. Inilah yang dilakoni Tia Evitawati, owner Crochet and Knitting (CnK) Original Handmade By Evita. Berbekal ilmu dari pelajaran prakarya merajut yang diterimanya waktu di SMP dan diperdalam seiring waktu, Tia-begitu sapaan akrabnya melancarkan jalannya menjadi pebisnis rajut sejak tahun 2011.

“Kemampuan saya merajut sebenarnya dari skill paling dasar dan jaman dulu sekali yang saya diterima waktu jaman SMP dulu. Kan ada pelajaran prakarya merajut. Ilmu enggak ada habisnya malah makin berkembang, itu yang saya manfaatin ,” ujarnya. Semangatnya semakin berkobar, lantaran melihat tren fashion berbasis rajutan berkembang pesat di Pulau Jawa, namun belum merambah pasar Sumatera Utara. “Bahkan komunitas rajut yang biasa masih sedikit,” timpalnya.

Rajut Handmade by Evita (3)

Tidak banyak bahan yang dibutuhkan untuk merajut, bahan dasarnya terletak pada benang dan alat rajut. Perempuan kelahiran 10 April 1963 ini menambahkan hanya butuh modal Rp100 ribu di awal untuk membeli bahan baku dan lalu berkembang pesat. Dari tangan terampilnya, benang rajut disulap menjadi berbagai bentuk siap pakai. Di antaranya, bedcover, taplak meja, cargidan, jilbab, sajadah, sandal, tas, rompi, syal dan lainnya. “Merajut itu butuh kesabaran dan teliti. Mungkin banyak yang punya skill merajut atau hobi merajut namun untuk kontiniu merajut mungkin tidak banyak. Memang harus sabar untuk menjadikan sebuah produk,” ungkap Tia yang juga bergabung di komunitas rajut Medan, D’Rajuters Medan.

Rajut-Evita.jpg

Warga Jalan Berontak No 23 Pancurbatu ini menambahkan, untuk membuat satu produk siap jual dibutuhkan bervariasi waktu. Misalnya, untuk baju butuh waktu dua hari, taplak meja bisa disiapkan dalam seminggu sebanyak tiga lembar, namun untuk bedcover bisa memakan waktu sebulan. Untuk memasarkan karyanya, Tia masih sangat sederhana yakni dari mulut ke mulut dan menjual dengan sistem by order. Meski begitu, Tia sudah melayani pelanggan dari luar Sumatera Utara, seperti Pekanbaru, Depok juga Bandung. “Saya rajin ikuta pameran di beberapa tempat, jadi ketemu banyak orang di lokasi, mereka lihat produk lalu pesan. Tidak semua barang bisa ready stok kecuali taplak meja, tapi saya siap saja mengerjakan pesanan orderan. Sejauh ini semuanya berjalan lancar,” lanjutnya.

Dari usahanya, ibu tiga anak ini bisa meraup omset Rp6 juta sebulan. “Peminat terbanyak memang di kalangan ibu rumah tangga. Sementara bahan baku masih saya order dari Jakarta dengan kualitas yang bagus. Kecuali untuk taplak meja yang memang bahannya beda dan sudah ada di Medan,” tutunya.

Tia menjelaskan, usaha rajutannya ini ingin semakin dikembangkan ke depannya. Terutama untuk memperbanyak stok sekaligus menjadikan tokonya sebagai media jual beli peralatan lengkap untuk merajut. “Ya, termasuk ingin membuka pelatihan untuk orang lain yang ingin belajar merajut,” tegasnya.

Dia juga tidak takut tergerus dalam persaingan bisnis rajut sejenis. Menurutnya, masing-masing perajut punya keahlian yang beda dan beda pula karya yang dihasilkan. “Saya punya kemauan sehingga masih tetap semangat untuk berkreasi. Namanya, usaha pasti ada saingan. Tapi kan setiap perajut cara merajutnya pasti beda-beda, meski dasarnya sama. Tiap yang dihasilkan pasti punya nilai tersendiri yang tidak dimiliki perajut lain. Konsumen akan melihat itu, dan akan memilih mana yang akan tetap jadi produsen atau penjual favoritnya. Intinya ya mempertahankan kualitas,” bebernya. (nina rialita/terbit di Majalah Pengusaha Indonesia, edisi April 2013)

PIN BB Tia : 274e535c

Parlin Manihuruk-Crispy Pora-Pora

Crispy Pora-Pora

Ikan pora-pora dikenal sebagai ikon ikan di Danau Toba. Jika Anda pernah menginap di seputaran Danau Toba dan menikmati salah satu danau terbesar di dunia ini, Anda pasti dengan gampang melihat ikan-ikan kecil berwarna kehitaman yang selalu ingin dekat dengan manusia ini. Kini, ikan pora-pora tidak hanya dikenal sebagai ikan penghias Danau Toba, namun juga bernilai tinggi dan menjadi panganan enak nan bergizi.

Nina-Pora-Pora Crispy (2)

Nina-Pora-Pora Crispy-Pak Parlin Dpt Penghargaan (2)

Adalah Parlin Manihuruk yang kali pertama mencetuskan pengembangkan ikan pora-pora menjadi santapan siap saji bernama Crispy Pora-Pora. Di mana, para konsumen bisa mencicipi ikan pora-pora ini dalam bentuk kemasan. Pria berusia 51 tahun memulai usaha bukan hanya semata bicara laba rugi, namun karena kecintaannya terhadap Danau Toba. Dia ingin masyarakat sekitar mendapatkan manfaat dari apa yang dihasilkan dari danau dan tetap menjaga kelestarian lingkungan. “Saya anak kampung dan selalu akrab dengan menyelam, menangkap dan bakar ikan di Danau Toba. Tahun 1980-an populasi ikan di danau berkurang. Akhirnya mulai tahun 2003, saya galakkan kegiatan tabur ikan di danau yang saat itu ada 11 ribu ikan termasuk ikan pora-pora. Bersama teman-teman termasuk Bu Presiden saat itu (Megawati) juga melakukan hal yang sama. Saya selalu suarakan, kalau Anda cinta Danau Toba taburlah ikan satu ekor ,” kenangnya.

Selepas kampanye tabur ikan, populasi ikan kian banyak termasuk perkawinan silang ikan asli danau dengan ikan yang ditabur publik, salah satunya ikan pora-pora. Sejak saat itu, mantan dosen Universitas Nomensen Medan ini mulai meneliti. Tahun 2008, dia mendapati pertanian di sekitar danau rusak, lantaran cuaca ekstrim, di mana masyarakat biasanya bertani bawang mulai beralih jadi nelayan. “Yang ditangkap nelayan membludak, saya cek terus, bahwa yang ditangkap untuk dimakan berlebih bahkan setelah dijual ke daerah luar. Lalu saya mengamati di sekitar pasar-pasar tempat ikan ini didistribusikan. Banyak peminatnya, termasuk ibu-ibu dekat rumah saya (di Kawasan Bandar Khalifah) dengan alasan ikan ini murah. Dari situlah saya berpikir kenapa enggak ikan ini diproduksi siap saji, karena persediaannya juga booming,” ungkapnya.

Nina-Pora-Pora Crispy-11.jpg

Untuk memulai usaha, Parlin membawa contoh ikan pora-pora sebanyak lima kilogram ke Balai Riset Perikanan Air Tawar di Bogor. Di balai tersebut, Parlin juga menemukan sejenis ikan pora-pora, di mana orang Bogor menamainya baby fish, bedanya jika ikan pora-pora tumbuh alami di danau, baby fish ditambak. “Saya diskusikan dengan mereka (di balai), maka cara mengolah ikan ini. Dua orang balai riset dibawa Parlin langsung ke Danau Toba dan menyimpulkan bahwa ikan pora-pora jauh lebih enak dan sehat karena makan gulma di danau. Sejak saat itu saya semakin semangat,” beber mantan aktivis tahun 1990-an ini.

Bersama orang dari balai riset, mereka mendesain mesin untuk mengolah ikan. Ada tiga mesin saat itu yang difungsikan untuk menggoreng dan mengeringkan minyak. Parlin lalu membuat kelompok-kelompok nelayan di Danau Toba di sekitar Aji Bata dan Parapat. Masyarakat di sekitar danau tidak hanya mencari ikan tapi juga mendapatkan pekerjaan baru dengan menyiangin (membersihkan ikan) lalu menggorengnya dengan mesin yang disediakan untuk kelompok masyarakat tersebut. Parlin mengurai di Danau Toba, tiap hari hampir 40 ton ikan mentah dari hasil tangkapan nelayan yang didistribukan ke Jambi, Padang, Bengkulu, Batam dan lainnya. “Saya libatkan masyarakat karena ingin menaikkan nilai mereka. Ikan ini sekilonya hanya Rp2 ribu. Karena saya bangun kelompok nelayan jadinya saya beli Rp3 ribu, kemudian diajarkkan menggunting ikan lalu saya beli lagi dengan harga Rp5 ribu. Setelah dikerjakan hingga digoreng saya beli dari mereka Rp80 ribu per kilo, kemudian dikirim ke saya, dan saya kemas menjadi Crispy Pora-Pora,” bebernya. Ikan ini digoreng dengan tambahan bumbu terdiri dari telur ayam , tepung beras, tepung tapioka, garam serta gula.

Tanpa disangka produk yang sudah jadi ini dibawa Parlin ke beberapa pameran langsung menjadi buruan. Tahun 2011, Parlin kemudian mendirikan CV Crispy Pora-Pora dan mulai melebarkan pengenalan produk ke Jakarta, Surabaya, Penang dan lainnya. Kini, peminatnya datang dari Aceh, Pekanbaru, Jakarta, Bandung dan tentu Medan dan beberapa menteri yang kebetulan singgah ke Danau Toba. Alumni Nomensen Fakultas Teknik ini mengemasnya dengan ukuran 100 gram dengan harga Rp15 ribu dengan tingkat daya tahan delapan bulan.

Perjalanan bisnis Crispy Pora-Pora memang tidak langsung melejitkan keuntungan. Semua berjalan pelan. Rata-rata dalam sebulan, Parlin masih menjual sekira 2000 bungkus. Padahal jumlah ini bisa meningkat tajam jika disesuaikan dengan kemampuan mesin yang bisa menampung 1800 kotak perhari dengan hanya lima jam kerja. “Belum saya lakukan itu, karena pasar belum kencang. Produksi masih saya batasi. Tapi tahun 2013 saya targetkan saya bisa mencapai posisi enak di bisnis ini. Karena Jakarta, sudah minta pesanan 1000 kotak perbulan. Saat ini, saya sudah balik modal dari modal awal Rp60 juta tapi belum pada momen untung besar,” ucap bapak tiga anak ini yang menerima SNI Nominee Award tahun 2012 ini.

Sejatinya Parlin punya target lebih besar, yakni di seluruh Danau Toba bisa memproduksi Crispy Pora-Pora dengan kualitas rasa yang sama, seperti yang sudah dipasarkannnya. Niatnya ada serapan tenaga kerja bisa tercapai. “Saya bilang ke pemerintah (Sumut) saat diundang seminar, dasar saya ingin membuat ini adalah mengurangi penganguran. Kemudian saat ini katanya Indonesia krisis pangan, padahal ada kok makanan dari air tawar dengan protein bagus. Kenapa ikan sarden dari China, kok bisa datang dimasukkan ke Surabaya dikalengkan kenapa tidak ikan danau, ketiga saya mau bilang ini menambah oleh-oleh khas Sumatera Uitara, keempat gerakan cinta lingkungan ikan ini bisa hidup di air yang bersih, kelima kita harus galakkan ekonomi kerakyatan inilah jawabannya,” tuturnya.

Dia juga ingin mengembangkan limbah minyak bekas penggorengan ikan pora-pora menjadi sabun dengan formula khusus. “Bisa dibilang ini turunan usaha, akan kami namai sabun pora-pora. Bukan saatnya lagi hanya mengkritik pemerintah tapi ikut terjun menjadi pemberi solusi atas masalah bangsa ini,” pungkasnya. (nina rialita/terbit di Majalah Pengusaha Indonesia, Jakarta, edisi Mei 2013)

Crispy Pora-Pora
Pemilik : Parlin Manihuruk
Hp : 081361110002
Alamat : Jalan Benteng Hilir Barat No 1, Bandar Khalipah, percut Sei Tuan, Deliserdang, Sumtera Utara
No Telepon/HP : 061-7382872
Email : parlin_manihuruk@yahoo.com

Lambok Siahaan-Bisnis Daging Durian

Sumatera Utara dikenal sebagai salah satu daerah penghasil durian di Indonesia. Buahnya juga menjadi wisata kuliner yang cukup diandalkan para pebisnis untuk menarik minat wisatawan yang mengunjungi ibukota Sumatera Utara, Medan. Selain menjajakan buah durian, ada juga usaha yang lebih praktis dengan menjual daging durian tanpa biji dan terbebas dari aktivitas buka kulit durian yang tajam.

Daging Durian-Lambok (5)

Lambok Siahaan, pemilik usaha daging durian yang berhasil mengembangkan usaha ini sejak tahun 2009. Berawal dari agen durian dari tanah kelahirannya di Sibolga, Sumatera Utara, Lambok memilik menetap di Medan tahun 2001. “Saya dulu agen durian, kemudian bolak-bolik Medan mengantar durian ke Medan. Akhirnya tahun 2001, saya putuskan tinggal di Medan dan menjual buah durian,” kenangnya saat ditemui di rumahnya tersebut.

Namun, tanpa disangka tahun 2009 berawal dari tukang es krim yang biasa jadi langganan buah duriannya membuatnya menemukan formula baru dari sekadar penjual buah durian. Tukang es krim yang menjajakan es dengan sepedanya ini mendatangi Lambok untuk membeli buah durian untuk rasa es krimnya. Saat itu, Lambok sedang tidak punya stok buah durian, namun di freezer lemari pendinginnya ada sisa daging durian yang belum dimakan. Daging durian inilah yang diberikan ke tukang es tersebut. “Setelah dari situ, saya melihat ternyata peluang usaha daging durian bisa dimulai,” timpalnya.

Apalagi, beberapa saat kemudian, usaha kuliner dengan campuran durian mulai menggurita di Medan, sebut saja es campur durian, pancake durian, bahkan belakangan ada jus durian. Predikatnya sebagai penjual buah durian bertambah menjadi penyedia daging durian beku.

Hingga kini, permintaan pasar terhadap daging duriannya mencapai 1000 kilo atau satu ton dalam seminggu yang dipasarkan ke seluruh Indonesia dari Aceh sampai Kalimantan. Bahkan jika permintaan melonjak bisa mencapai 400 kilo per hari. Dalam sebulannya, pria berusia 33 tahun ini bisa meraup omset sekira Rp120 juta.

Daging Durian-Lambok (7)

Di lokasi usahanya di Jalan Jati 3, Kawasan Medan Teladan, Lambok mempekerjakan ibu-ibu sekitar rumahnya untuk memisahkan daging durian dari bijinya, kemudian dikemas dalam kantong plastik berukuran 1 kilo di teras rumahnya. Para ibu-ibu ini dibantu empat tenaga tenaga lainnya yang bertugas mengupas durian dari kulitnya. Setelah daging durian sudah dipisahkan dari biji, maka daging yang bentuknya seperti adonanan yang sudah dikemas plastik dimasukkan ke dalam freezer. Proses ini harus dilakukan dengan sangat cepat, karena daging durian segar hanya bertahan dua jam di luar ruangan tanpa lemari pendingin. “Rasanya bisa langsung asam. Tapi, kalau freezer bisa tahan selama enam bulan,” ujarnya. Lambok menggunakan sepuluh lemari es ukuran sedang dan khusus freezer besar sebanyak dua unit dan mengemas daging durian murni tanpa bahan pengawet.

Satu plastik daging duriannya dijual sekira Rp30 ribu, kadang Rp40 ribu dan bisa mencapai Rp100 ribu kalau durian sedang langka. Pun demikian, Lambok mengatakan tidak kesulitan memeroleh buah durian untuk memenuhi permintaan pasar. Sistem stok di saat musim durian menjadi solusinya. “Jadi kadang ada kalanya empat bulan terus menerus banyak buah durian kemudian kosong dua bulan. Di saat musim durian itu kami ambil banyak dan langsung dikuliti dan disimpan di freezer dibekukan, karena tahannya hingga enam bulan. Tapi tidak ada kendala soal ketersediaan barang. Jadi dalam seminggu permintaan yang satu ton itu selalu habis dan tercukupi pesanannya,” lanjutnya.

Bapak satu anak ini mengambil buah durian asli Sumatera Utara. Diantaranya dari Sibolga, Dairi, Siantar dan Sidikalang. “Semua durian yang saya olah dari Sumut tidak mengambil dari daerah lain. Kualitas durian di sini sangat bagus, terutama dari Sidikalang yang paling enak, jarang busuk, kulitnya tahan lama dan modelnya cantik,” timpalnya.

Untuk mengantarkan pesanan konsumen di luar kota, Lambok menggunakan jasa pesawat terbang. Daging durian beku tersebut disusun rapih dalam kotak fiber berwarna putih. Dalam kotak ini, daging durian bisa tahan 24 jam tanpa cair dan wangi durian tidak keluar dari kotaknya. “Permintaan pasar sejauh ini paling banyak masih dari Jakarta. Karena di Jakarta juga sedang booming usaha kuliner dengan daging durian termasuk pancake durian. Sedangkan untuk Medan masih biasa saja, kebanyakkan masih memilih membeli buah durian dan mengupas sendiri. Kalau di luar negeri belum ada, karena di negara tetangga seperti Malaysia, mereka juga punya pengusaha sejenis daging durian bahkan mereka bisa dibilang lebih dulu menemukan formula usaha daging durian ini,” bebernya.

Daging Durian-Lambok (1)

Dalam menjalankan usahanya, Lambok mengaku terkadang menemui kendala teknis. Semisal, tiba-tiba padam listrik dan frezeernya mati. Beberapa kali, dia terpaksa membuang daging durian yang sudah berubah rasa ke asam ini. “Ini salah satu kendala dalam usaha,” ucapnya. Namun, saat ini, Lambok terus berusaha menjaga kualitas produknya. Terlebih di Medan, ada beberapa pengusaha sejenis dirinya di Medan.

Ke depan, Lambok sedang berusaha mencari pemanfaatan kulit dan biji durian sisa proses pengemasan daging durian. Pasalnya, selama ini, hampir satu mobil sampah penuh mengangkut kulit dan biji durian dari rumahnya. “Inilah yang belum saya dapatkan cara pengolahan kulit dan bijinya. Karena sayang juga sampahnya satu mobil tiap hari dibuang,” pungkasnya. (nina rialita/terbit di Majalah Pengusaha Indonesia, Jakarta, edisi Mei 2012)

Lambok Durian
Owner : Lambok Siahaan
Alamat : Jalan Jati 3 No 116, Medan.
No Hp : 081376223489

Megat Molina-Owner Memo Group

Mau belajar dan kerja keras menjadi kunci sukses usaha Memo Group. Sebuah usaha yang mengcover banyak bidang, di dalamnya Memo Catering, Memo Pesta, Memo Cookies dan Memo Cafe. Adalah ownernya perempuan bernama Megat Molina yang menjalankan usaha ini dari nol. Dari yang tidak tahu masak kini jadi acuan lidah banyak orang.

Usaha catering yang dibangunnya sudah cukup dikenal, begitu juga usaha pelaminan dan bisnis kue-kue. Belum sampai di situ saja, perempuan yang akrab disapa Memo ini baru saja mengembangkan cafe dengan standar kenyamanan, gratis karaoke hanya dengan makan dan minum di lokasi. Dia juga mendapatkan kepercayaan mengelola rumah makan atau cafe bertaraf internasional di sebuah rumah sakit pemerintah.

Memo mengakui awalnya tidak punya latar belakang tata boga, sikap keluguan saat mencoba universitas negeri di masa kuliahnya tahun 80-an membuatnya terdampar di pulau dengan peluang besar terhampar. “Saya akhirnya malah lulus di IKIP (sekarang Universitas Negeri Medan). Jaman dulu orang bilang pilihan utama untuk masuk kuliah pasti sulit lulusnya, jadi saya ambil saja tata boga sebagai pilihan kedua, ternyata lulus. Saya enggak tahu tata boga itu apa. Masak nasi saja saya enggak tahu,” ungkapnya kepada Inspirasi Usaha di Mome Cafe Jalan Pasar Merah/Menteng Raya Gang Budi No 3, Medan.

Lantaran tidak banyak tahu, perempuan berusia 44 tahun ini gigih belajar. Kerja kerasnya mengenal dunia masak memasak membuahkan hasil, kuliah semester tiga Memo sudah didaulat jadi tenaga pendidik di pesantren yang masih tetap digelutinya sampai sekarang selama 22 tahun. Saat masih kuliah, Memo juga mengaplikasikan kepiawaiannya membuat kue dan menjual di kalangan kampus termasuk ke dosen. Setelah tamat kuliah, selain jadi guru dia menyadari usaha berbasis kuliner punya peluang besar. “Pada saat itu (tahun 1990-an) usaha kuliner number one, karena apapun ceritanya ada saja pesta dan orang makan sehari itu tiga kali. Awalnya, saya terjun menjadi agen bidan pengantin, karena saat belum ada catering masih kalangan atas. Di pelaminan saya memulai dari agen sampai punya sendiri namanya Memo Pesta. Modal awal saya ngutang bahan-bahan ke pasar. Kemudian saya ingin buka catering saya doa sama Allah dan dikabulkan dan dimudahkan padahal awalnya tanpa modal,” ungkap Ketua DPD Ika Boga Sumut ini .

Memo menghidupi usahanya dengan fokus, satu usahanya dibiarkan besar dan mandiri baru berani membuka usaha lain. Seperti dia mengembangkan Memo Pesta, setelah punya nama dia membuka catering tahun 1992 yang kini sudah oke lalu ke Memo Cafe. Untuk menjalankan usahanya, Memo memiliki 20-an karyawan tetap. Jumlah ini bisa meningkat menjadi 100 orang jika banyak pesanan. Untuk catering, selalu saja ada yang pesan setiap minggu. “Kalau catering modal awal pertama saya enggak ada. Catering tanpa modal, karena orang mesan itu sistem panjar. Dari catering lumayan banyak omsetnya,” tegasnya. Secara total Memo Group, ada sekira Rp200-an juta omset sebulan, kadang bisa mencapai Rp400-an juta tergantung banyaknya pesanan. Memo juga mendirikan media kuliner belajar di pendidikan luar sekolah (PLS Memo).

Memo cookies (Produk) (1)

Memo-Owner Memo Group (3)

Operasional Memo Cafe sendiri dibantu keuntungan dari Memo catering. Memo Cafe didirikan dengan bangunan senilai Rp500-an juta dan biaya total bersama operasional Rp1,2 miliar. Ibarat kredit dengan Memo Catering, Memo Cafe ditarget bisa menghidupi diri sendiri. Meski akan soft launching Februari, namun Memo Cafe sudah kedatangan pelanggan terdekatnya dan dalam satu bulannya sudah bisa memiliki omset Rp10 juta.

Di Memo Cafe, perempuan berkacamata ini mengikuti pangsa pasar yang masih banyak menggunakan bahan baku ayam. Setidaknya ada ada 13 variasi menu ayam yang dikreasikannnya. Sebut saja ayam wijen, ayam somboi, ayam komplet dan lainnya. Memo memiliki tagline untuk Memo Cafe, yakni harga kaki lima kualitas bintang lima. “Karaoker di sini enggak bayar, syaratnya makan di sini. Juga ada wife, belum buka tapi sudah tida kali ada pelatihan wirausaha di sini,” sebut perempuan yang langganan jadi narasumber materi wirausaha ini.

Sukses sampai sejauh ini, Memo terkadang masih sering tidak percaya. Bahkan, menurutnya dia punya impian yang abstrak yakni hanya ingin jadi orang sukses, tapi enggak tahu di bidang apa. Suksesnya di kuliner juga di luar didugaan, karena masa mudanya dihabiskan dengan hobi berbau macho, mulai tinju, balapan dan lari. “Enggak ada cerita tata boga atau masakan, karena saya habitnya kayak laki-laki, latihan tinju, balapan, lari. Saya menyadari apapun pekerjaannya bisa dan harus sukses. Saya tulis di banyak tempat “saya harus sukses”. Saya ajarkan ke anak-anak saya kalau jadi apapun harus sukses. Kalau mau jadi ustad yang sukses, tukang becak yang sukses,” lanjutnya.

Namun dari semua kemudahan meraih sukses, Memo menyadari hal terpenting adalah ketika mendekatkan diri ke Allah SWT. Mulai dari salat yang tidak tinggal, rajin berdoa usai salat tahajud, puasa Senin-Kamis dan sedekah. “Sepertinya apa yang saya minta terkabul. Ini saya lagi merancang ingin punya rumah terapis hampir terjadi, terapi untuk anak-anak penghafal al quran,” jelasnya.

Memo mengingatkan setiap impian boleh diusung setinggi langit, namun akan sia-sia jika tidak dimulai untuk action. “Artinya apa yang Anda dipikrikan jangan dikhayalkan action saja langsung. Jangan terbentur hanya mikirkan enggak ada modal. Di Islam itu wajib punya impian setinggi langit pun boleh. Misalnya, ingin punya mobil, pergi saja ke show room, pegang mobilnya foto. Terus salat tahajud dan berdoa sama Allah,s etelah itu sedekah enggak mesti uang banyak. Nah eksekusinya biarkan Allah,” pungkas ibu dua anak ini. (nina rialita/terbit di Majalah Inspirasi Usaha Makassar, Maret 2013)

Bandrek Medan Madina

Bandrek Medan Madina (4)

Usaha minuman tradisional kemasan juga sedang dirintis oleh Muhammad Kenaris Tufail. Pria asal Kota Pinang, Kabupaten Labuhan Batu Selatan, Sumatera Utara ini membuka usaha bandrek kemasan di kawasan Depok. Pria yang akrab disapa Tufail sudah hijrah dari Sumut sejak tahun 1987.

Sejak enam bulan terakhir, Tufail mencoba peruntungan di usaha bandrek. Kali pertama, dia membuka bandrek dengan gerobak. Namun sebulan terakhir, dia melihat pangsa pasar bandrek cukup besar. Dia lantas mengembangkan sayap dengan mengemas bandreknya tersebut dalam bentuk kemasan. Diapun mempensiunkan gerobaknya dan fokus ke tampilan sachet. “Saya asli Medan yang tinggal di Jakarta. Saya lihat di Jakarta, tidak ada yang jual minuman bandrek Medan, maka timbul ide saya memulai usaha minuman tradisional ini,” ujarnya kepada Majalan Inspirasi Usaha.

Tufail memberikan nama Bandrek Medan Madina karena ramuan minuman tersebut buatan orang Medan. “Dan sasaran awalnya adalah warung-warung sembako di Jakarta yang mayoritas pemiliknya adalah orang Mandailing Natal (Madina), sebuah daerah di Sumut. Di daerah Depok, Jakarta, saya lihat segmen pasaranya untuk bandrek sachet sangat bagus,” jelasnya.

Bandrek sachetnya, lanjut pria berusia 50 tahun ini punya hal yang istimewa. Dari rasanya lebih pedas, lebih kaya rempah dan lebih cepat beraksi ke badan. “Kami meraciknya dari bahan-bahan alami, terdiri dari jahe, gula, cabe, pala, sereh, biji pala dan rempah-rempah Indonesia lainnya. Sehingga rasanya sangat khas dan berbeda dengan minuman jahe biasa. Karena efek utamanya adalah menghangatkan badan dan kepedasan di mulut. Minuman ini sangat cocok dihidangkan dalam keadaan hangat serta di udara yang dingin atau malam. Kalau mau dihidangkan dengan es juga bisa. Dan lebih mantap lagi kalau dicampur dengan susu,” beber bapak yang kini punya tujuh anak ini.

Bandrek kemasannya ini bisa bertahan hingga dua tahun. “Kami tidak pakai bahan pengawet dan pewarna, seratus persen alami, bisa dites di laboratorium,” lanjutnya.

Di kawasan Jalan R Sanim RT 02/RW 11 No. 57, Kelurahan Tanah Baru, kecamatan Beji, Depok, Tufail sudah menghasilkan dua jenis kemasan. “Yakni ada sachet dan botol. Kalau sachet isinya 20 gram, biasa kami jual perlusin. Kalau botol isinya 300 gram, bisa dibeli perbotol,” timpalnya.

Bandrek Aktivitas-Dok pribadi (4)

Dalam sebulannya, produksi Bandrek Medan Madina bisa mencapai sekitar 9600 lusin perbulan. Dan, kalau sachet sekitar 60.000 sachet atau 5000 lusin.

Karena baru merintis, produksinya menjangkau Wilayah Depok dan penyebarannya baru sekitar tempat produksi di Depok dan Tanah Baru, dan daerah Jakarta sekitar Lenteng Agung. Untuk pesanan mencapai semua warung sembako. “Kami menjualnya pakai sales ke warung sembako dan took-toko herbal. Kami juga jual via online. Bisa klik situs kami di http://www.bandrekmedanalmadinah.com dan http://www.bandrekmedanmadina.com. dan beberapa situs herbal afiliasi kami,” bebernya.

Tufail sangat yakin dengan usahanya ini. Dia memprediksi baru bisa balik modal dalam dua tahun ke depan. Dalam jangka waktu itu, dia berusaha mengembalikan modal awal yang mencapai Rp70 juta untuk semua operasional dan bahan saat membuka bisnis bandreknya. Saat ini, omset awalnya yang masih dalam sebulan terakhir mencapai Rp6 jutaan.

Persaingan bisnis minuman kemasan, Tufail mengaku tak khawatir. Dia menegaskan, semua tergantung pada kualitas produk. “Untuk bisa bertahan selain modal yang kuat, rasa dan kualitas produk harus dipertahankan. Yang penting niat membangun usaha dengan sungguh-sungguhu, soal akhir itu tergantung Allah,” pungkasnya. (nina rialita/terbit di Majalah Inspirasi Usaha Makassar, Agustus 2012)