Sumatera Utara daerah dengan sejuta pesona kuliner. Di sini, banyak jenis makanan yang menggugah selera, satu di antaranya cemilan khas melayu. Adalah Harimah, perempuan berusia 42 tahun yang masih mempertahankan usaha dengan mengandalkan manisan khas melayu yang biasa disebut halua. Ima-begitu sapaan akrabnya mengubah sayur-sayuran yang pahit dan pedas menjadi panganan manis dan nikmat.
Di lokasi usahanya bernama Pondok Halua Delima, Jalan Flamboyan Raya Lingkungan III, Nomor 109, Medan, Ima menjajakan 20 jenis halua dari sayur dan buah serta kue-kue tradisional melayu. Di antaranya, cabai merah, pepaya, bunga pepaya, asam glugur, buah renda, jeruk kesturi, tomat, labu jepang, nenas, paria, kolang kaling, wortel. Dan, kue-kue khas melayu yang hampir punah di pasaran seperti bika kampung, kue danga, rasida, penyaram.
Ima mengaku dengan pilihan cemilan khas melayu ini sudah minim kompetitior dan tetap bisa bertahan sejak membuka bisnis tahun 2002 lalu. Ima mengatakan kepandaiannya membuat manisan dimulai sejak masa sekolah menengah pertama (SMP). “Saya hobi buat kue, manisan. Enggak tahu begitu suka, hobi dan enggak ada yang mengajari bahkan tidak dari orang tua. Otodidak. Pernah saya buat dengan modal Rp25 ribuan di tahun 1990-an, untungnya saya belikan jam,” ujarnya sambil tertawa.
Kemudian, tanpa disangka buatan tangan anak tamatan SMA ini malah diminati. Ima kemudian ikut dengan saudaranya di sebuah pameran dengan produk haluanya. “Di tahun 2001, saya pas pameran ketemu Ibu Rizal Nurdin (istri almarhum Tengku Rizal Nurdin, gubernur Sumatera Utara). Dia bilang buatan saya bagus dan meminta saya bergabung dengan Dekranas, kemudian dari situlah saya memulai semuanya sebagai bisnis,” kenangnya. Nama Halua Delima dijadikan tajuk karena bahasa melayu manisan adalah halua. Dan halua ini khas Melayu Deli buatan Ima.
Kali pertama membuka usaha, Ima memang punya misi khusus bagaimana sayuran yang pahit dan cabai yang pedas bisa dinikmati dari segala umur termasuk anak-anak yang terkenal tidak doyan sayur. “Saya inovasikan manisan dari sayur untuk jadi cemilan yang renyah dan rasa pahitnya hilang. Sampai sekarang ada 20 item manisan dan saya kembangkan lagi kue-kue melayu. Kalau untuk manisan paling terkenal itu cabai. Tapi halua (manisan) lainnya juga banyak peminatnya hampir rata,” jelasnya.
Bermodalkan Rp100 ribu membeli bahan baku gula, sayuran dan buah untuk membuat halua, Ima serius dalam bisnisnya. Dia tidak butuh aset berupa alat-alat mahal pendukung usahanya. Karena semua dibuat sendiri dan rumahan, dia hanya membutuhkan toples untuk menempatkan halua yang siap dijajakan. “Pertama dari Rp100 ribu bisa dapat Rp600 ribu, kemudian Rp2 juta ketiga Rp4 juta dan sekarang kalau lagi banyak pesanan seperti lebaran bisa dapat omset Rp40 juta,” bebernya. Saat ini, rata-rata sebulan memproduksi 100 kg halua untuk semua jenis. Jumlah ini meningkat jika jelang lebaran yang mencapai 500 kg.
Perempuan ramah ini mengatakan meski sudah berjalan tahunan, kendala pemasaran masih tetap ada. Karena, halua dan kue-kue khas melayu ini, lanjut Ima masih banyak orang yang tahu. Untuk halua misalnya proses pembuatan meski sederhana butuh waktu yang cukup lama, mencapai tiga minggu bahkan satu bulan baru selesai. “Proses pembuatannya sulit sehingga harganya high class. Butuh tiga minggu sampai satu bulan, tapi tahan lama sampai setahun haluanya. Karena murni gula sebagai pengawetnya,” ucapnya. Untuk perbandingan bahan baku dan gula, dalam pembuatannya Ima mengunakan 1 : 2. Tapi, sekarang harus 1 : 3, menurut Ima ini terjadi karena kualitas gula yang kian lama tak semanis dulu lagi. Selain itu, untuk halua cabai, kalau harga melonjak Ima kesulitan. Sebab, Ima menggunakan cabai dari Pulau Jawa yakni cabai gombong yang besar. “Kalau harga mahal, maka dari cabai dari Pulau Jawa enggak mengirim kemari (Medan). Kalau pakai cabai sini tidak bisa, karena di sini cabainya kecil dan keriting,” timpalnya.
Namun, perempuan yang sempat ikut trainning ke Jepang tahun 2004 ini mengatakan prospek halua masih sangat cerah. Masih banyak permintaan konsumen yang datang langsung ke tokonya untuk dijadikan oleh-oleh. Banyak pejabat dari dinas luar Sumatera Utara yang singgah ke tempatnya dan memborong halua. Belum lagi, halua buatannya sudah masuk supermarket dan toko-toko roti di Medan. Permintaan ekspor dinafikannya, lantaran pasar Indonesia sangat menjanjikan. “Saya tahun 2004 pernah menerima tawaran ekspor ke Singapura tapi saya rasa ribet. Jadi saya fokus ke pasar Indonesia saja, Singapura belum tentu lidahnya sama dengan kita. Sedangkan di Indonesia ada 250 juta penduduk yang bisa digarap dan lidahnya itu sudah pas dengan produk yang saya buat,” bebernya.
Di toko yang buka sejak pukul 08.00 WIB hingga 22.00 WIB ini, Ima melayani pembelian partai besar dan kecil. Konsumen bisa membeli halua kiloan, di mana satu kilo dengan harga Rp100 ribu sampai Rp350 ribu, termahal ada di harga halua cabai. Ada juga bentuk kemasan 250 gram dengan harga Rp35 ribu. “Tergantung konsumen mau beli berapa, satu ons pun saya layani,” lanjutnya. Ima tidak punya target muluk-muluk, ke depannya selain mempertahankan kuliner tradisional Melayu, dia hanya ingin mensejajarkan produknya sebagai jajanan atau oleh-oleh khas Medan. (nina rialita/terbit di Majalah Inspirasi Usaha Edisi Mei 2013)
Pondok Halua Delima
Alamat : Jalan Flamboyan Raya Lingkungan III, Nomor 109, Medan, Sumatera Utara
Nomor Telepon : 08126464430
You must be logged in to post a comment.