KedeKopiKami-Warkop dalam Ruangan

Apa jadinya kalau warung kopi (warkop) ada di dalam ruangan? Dengan konsep tempat duduk yang sama menggunakan bangku, gratis layanan wifi, namun dilayani ramah layaknya restoran. Ingin mendapatkan suasana ini? Ada baiknya Anda singgah ke KedeKopiKami, sebuah bisnis kuliner mengusung kopi di Kawasan Dokter Mansur Nomor 79. Kawasan Dokter Mansur sekitaran Universitas Sumatera Utara (USU) memang bisa disebut sentra kumpulnya anak-anak muda Medan. Sepanjang jalan, menyediakan jajanan dari ala pedagang kaki lima hingga resto. Namun, tetap sajian kopi mendominasi.

Masuk ke KedeKopiKami, jelas terlihat konsep anak muda. Dindingnya dihiasi grafiti-grafiti indah. Bangku dan meja panjang tersusun rapi. Lalu ibarat sebuah bar kecil, di sinilah para pelayan meracik ramuan pesanan konsumen. Sedangkan, konsumen mayoritas kaum muda yang datang lengkap dengan peralatan laptop, ipad sejenisnya.

Nunki-Owner Kedai Kopi Kami (3)

KedeKopiKami berdiri tahun 2009, bisa dilabeli sebagai yang pertama di kawasan ini menyajikan konsep kuliner kopi, meskipun dilengkapi dengan sajian lain non kopi. Sang pendiri dan ownernya seorang alumni arsitektur USU, Nunki Arindiani. “Sebenarnya awalnya, alumni arsitek kalau ketemu dan ngumpul di kedai kopi atau cafe. Terus lama kelamaan, mikirnya kenapa enggak buka usaha sendiri yang bisa dijadikan tempat ngumpul dan ketemu banyak orang. Cuma pengen jadi tempat ngumpul, pada suka kopi dan akhirnya buka kedai ini. Tahun 2009 itu memang baru kita yang buka, baru yang lain-lain menyusul di kawasan ini,” ujarnya kepada Majalah Pengusaha Indonesia.

Begitu berdiri, Nunki cari nama yang simpel, mudah diingat dan membuat pelanggan merasa memiliki. Lalu munculnya, KedaiKoiKami. “Maunya dari nama itu ada yang melafaskannya dengan ‘kami’. Jadi merasa memiliki dan jadi sering datang,” timpalnya.

Tahun 2009, Nunki sudah menekankan bahwa usaha ini harus dibuat ibarat warkop tapi di dalam ruangan. “Kalau di warkop terbuka, kalau ini kan di dalam, santai. Kami membuat grafiti itu supaya beda dengan tempat lain. Di sini juga ciri khasnya komunitas. Kami punya komunitas di kedai kopi. Di satu sisi kami ingin berjualan, tapi kami juga ingin ada sumbangsih untuk masyarakat, dan salah satunya dengan bermain di komunitas. Alhamdulilah sudah banyak komunitas, ada komunitas film, akademi berbagi, ada fotografer, wartawan dan lainnya yang rutin mengadakan acara di sini,” bebernya.

Konsepnya, kedai yang buka pukul 09.00 WIB hingga 01.00 WIB ini tetap santai. Bukan seperti resto. Di sini pelayan diperbolehkan santai saat menghadapi kosumen dan tidak kaku, walau pelayanan bisa jauh lebih nyaman dari resto. “Waitress harus perkenalkan nama dan kami lebih suka personal yang merasa nyaman di sini. Enggak kaku waitressnya, walau santai tapi harus siap dipanggil dan waitress bisa menjadi konsultan pelanggan tentang menu terbaik dan cocok untuk lidah,” tegasnya.

Untuk konsumen komunitas, Nunki ingin menjaga pelanggan. Makanya, tidak pernah ada minimum charge dan syarat-syarat tertentu, tempat boleh dipakai untuk kumpul. “Untuk komunitas free enggak ada masalah yang penting pesan makanan, minum. Keculi untuk pekerja, kalau itu kan anak-anak muda. Sama sekali enggak ada minimum charge, paling enggak orang datang ke kedai ini mereka bisa punya teman baru. Mereka bisa dapat ilmu dalam acara-acara di sini,” ujarnya.
Nunki juga mendapati, nama kedai yang digunakannya kadang membuat orang salah persepsi. Sebagian menilai dari luar, konsep kedai dianggap tidak mewakili anak muda yang trendy. Tapi dia tak patah arang, menurutnya itu tantangan, meski sudah lazim orang melihat sesuatu dari penampilan. “Kami terus berbenah, termasuk menambah menu. Kami bukannya jelek banget. Malah ada sesuatu yang bisa di dapat dari sini,” tukasnya.

Menu-menu favorit di KedaiKopiKami beranekaragam. Tapi menu makanan, seperti nasi ayam bakar, nasi goreng sosis keju, nasi goreng teri cabai hijau, kopi tarik, teh sanger, sanger dingin, menjadi langganan pesanan terbanyak. Untuk bahan baku kopi, Nunki mengambil dari Aceh. “Kami mengambil kopi dari Aceh, tapi tidak monoton. Berganti-ganti untuk mencoba yang baru, tapi tetap kualitasnya dijaga,” jelasnya.

Langganan tetap di sini adalah artis penyanyi Ramona Purba yang sudah datang beberapa kali tanpa diketahui Nunksi. “Iya, abang itu ternyata suka datang kesini, sekali aku jumpai dan tanya kok bisa ke sini. Dia bilang, kopinya enak, ternyata dari Jakarta sudah sering kemari. Menu favoritnya reguler kopi dengan gulai merah,” bebernya.

Berbagai terobosan dilakukan Nunki untuk menghidupkan suasana yang biasanya ramai di Hari Jumat dan Sabtu. Dalam waktu dekat ini, KedeKopiKami akan buka pukul 07.00 WIB hingga 02.00 WIB. “Kami juga mau membuat member khusus KedaiKopiKami berhadiah nonton bioskop 21. Intinya ingin memanjakan pelanggan,” papar warga Jalan Komplek Pemda, Krakatau ini.

Kendala membangun usaha tetap ada. Menurut Nunki adalah saat menarik minat kosumen untuk datang dan menjadikan komunitas di lokasinya. Apalagi, saat itu modal juga pas-pasan. Sejatinya butuh Rp350 juta untuk sewa tempat dan beli bahan baku. Tapi Nunki hanya bisa dapat setengahnya. “Pelan-pelan, duitnya kami putar untuk beli perlengkapan kedai mulai proyektor dan aset pedukung kegiatan lainnya. Akhirnya dengan separuh modal itu kami berusaha memperbaiki. Memang berjalan lambat tapi sekarang sudah mulai stabil walau belum sehebat usaha orang lain,” bebernya.

Saat ini, Nunki sedang disibukkan dengan pekerjaannya sebagai pembuat maket, satu job terbesarnya adalah membuat maket untuk Bandara Kuala Namu, bandara baru yang akan dioperasikan di Sumatera Utara sebagai pengganti Bandara Polonia. Dia sudah membuat tiga maket. Selain itu maket jembatan menyusul. Perempuan berusia 35 tahun ini yakin bisa fokus ke dua bidang tersebut, kopi dan maket. “Sebenarnya ini penting karena i tanggung jawab ke semua orang. Sejauh ini saya bisa fokus ke dua-duanya dan tidak mengganggu, karena saya punya pegawai yang menghandle KedaiKopiKami. Tapi saya selalu datang ke sini, karena sudah dekat dengan komunitas yang ada di tempat kami,” pungkas Ketua Ikatan Alumni Arsitek USU ini. (nina rialita/terbit di Majalah Pengusaha Indonesia (Jakarta), edisi Februari 2013)

Note : KedeKopiKami pindah lokasi ke Jalan Setia Budi, depan Mie Aceh Titi Brobrok

Peluang Pasar Produk Turunan Kelapa

Kelapa merupakan tumbuhan yang bisa dimanfaatkan tidak hanya dari sekadar buah, tapi juga batang, daunnya bahkan limbahnya. Inilah yang dilakukan Darmansyah, warga Jalan Pattimura Nbo 75, Gunungsitoli, Nias. Dia sudah memulai mengolah dua produk turunan kelapa yang dijadikan virgin coconut oil (VCO) yang bisa menyembuhkan banyak penyakit, sabun dari minyak kelapa dan menjual minyak kelapa. Berkat penemuannya, VCO dan sabun perawatan kulit berbahan baku kelapa ini, Darmansyah cukup dikenal di Sumatera Utara. Dia satu dari tak banyak pengusaha kecil menengah yang menggantungkan bisnisnya dari produk olahan turunan kelapa di Sumatera Utara.

Darmansyah terjun ke usaha bernama UD Sinar Nias ini sejak 2006, pascagempa di Nias. Dia menyebutnya sebagai langkah awal yang tak disangka. Saat itu, anggota keluarganya tepatnya sang adik mengalami penyakit gondok dalam yang menyerang saluran pernafasan. Kondisi pascagempa membuat pelayanan rumah sakit sangat terbatas dan terpaksa membawa pulang sang adik yang masih dalam keadaan sakit ke rumah. Beruntung, seorang perawat senior di rumah sakit tersebut memberitahunya bahwa penyakit sang adik bisa terbantu dengan virgin coconut oil. “Saat itu, jujur, saya enggak pernah dengar istilahnya. Begitu dia bilang bahwa virgin coconut oil adalah minyak kelapa tanpa pemanasan, saya otomatis bilang bisa membuatnya,” ungkapnya saat ditemui di standnya di acara North Sumatera Investment, Trade and Tourism Expo (NSITTE) di Hotel Tiara Medan, minggu pertama Juni 2013.

Tekat kuat menyembuhkan sang adik mendorongnya segera melakukan eksperimen. Caranya, kelapa diparut dan santannya diperas, lalu dipermentasi selama enam jam dan minyak kelapa keluar dengan sendiri. Tanpa nyana, sang adik yang langsung diberikan minyak tersebut mengalami perubahan dan sembuh. “Dan, saya saat itu belum berpikir untuk menjadikannya bisnis atau semacam obat herbal suplemen. Tapi, saya kemudian membaca buku Coconut Oil Miracle karya seorang profesor Emeritus, Kimia dan Farmakologi, Michigan State University bernama Jon J Kabara ternyata ada sebuah penelitian yang sudah dilakukan 45 tahun bahwa minyak kelapa sangat bagus untuk penyakit lain seperti jantung sampai penyakit kulit,” kenangnya.

Dari situ dengan modal Rp100 ribu untuk membeli kelapa, Darmansyah mulai mengemas VCO dalam bentuk botolan 300 ml yang dijual Rp50 ribu. Peminatnya lumayan bagus, meski saat itu masih tetangga dan teman dekatnya. Lalu setahun kemudian, ada staf LIPPI berbagi informasi kepada Darmansyah setelah tahu produk yang dihasilkannya, bahwa minyak kelapa juga bisa dijadikan sabun yang sangat bermanfaat. Untuk membuat sabun ini, Darmansyah cukup sulit, karena meski diberi info dia tidak mendapatkan tata cara olahan dari orang LIPPI tersebut. “Saya coba tujuh kali gagal dan baru yang ke delapan berhasil. Ada tujuh bahan baku yang diramu jadi satu untuk menjadi sabun diantaranya minyak kelapa, gula glesterin dan lainnya,” jelasnya. Untuk sabun, dia produksi dalam bentuk kemasan kotak yang dijual Rp10 ribu.

Darmansyah mengaku tak menggunakan sarana promosi yang gencar dan masih dari mulut ke mulut, meski acap kali dia diundang untuk menjajakan produknya di acara pameran-pameran besar. Dia masih menggunakan alat produksi sederhana. Kini, usahanya sudah sampai dipasarkan ke Medan dan bisa sampai ke luar kota jika ada teman dekatnya yang ingin dikirimi, namun belum bisa memasuki pasar luar Sumatera Utara secara intens.

Untuk produk yang bisa tahan sampai tahunan ini, Darmansyah bisa memproduksi 30 liter perhari minyak kelapa dan 500 kotak sabun sebulan. Untuk konsumen, VCO lebih banyak laku terjual, namun untuk sabun banyak peminatnya adalah wanita yang sering digunakan untuk menghilangkan flek pada wajah. Dalam setiap bulan, Darmansyah mengatakan bisa meraup omset Rp20 jutaan dari usaha ini. Produk Turunan Kelapa (5)(1)Dia juga sudah membuat formula asap cair dari tempurung kelapa yang arangnya bermanfaat untuk pembekuan karet. Namun, produk ini masih belum dalam tahap pemasaran.

Pria yang terkenal bicara blak-blakkan ini menuturkan, bahwa kendala terbesarnya saat ini adalah penyediaan peralatan. Dia bukan tanpa alasan menyebutkan hal tersebut, usahanya yang bertahan hingga saat ini masih berjalan lambat karena terkadang sulit memenuhi permintaan, bahkan dari luar negeri karena ketiadaan peralatan semacam mesin. Padahal menurutnya, banyak sekali turunan olahan kelapa yang bisa dimanfaatkan. Dia menyebutkan, selain buah kelapa, batang kelapa dan sabut kelapa sangat punya peluang besar. Ini yang ingin dikembangkannya, apalagi saat pameran di Medan, awal Juni lalu dia sudah melihat hasil karya tahanan di Lembaga pemasyarakatan Nias yang memproduksi kerajinan tangan dari batang kelapa, dan diikutkannya dalam stand miliknya.

“Kelapa yang kami gunakan adalah batang kelapa yang sudah tua berusia 70 tahun ke atas. Selama ini warga sekitar tidak menebangnya karena merasa tidak bermanfaat untuk mereka, padahal jumlahnya banyak di Nias. Bahan baku banyak di nias, hanya saja saya pernah mendapati data yang dikeluarkan kementrian kehutaan, bahwa tidak ada kelapa di nias. Berarti selama ini tidak sampai datanya ke pusat,” ungkapnya.

Darmansyah berharap ke depan bisa memanfaatkan semua bagian kelapa jadi produk bernilai jual. Menurutnya, dari lidinya, batangnya, buah kelapa bisa dimanfaatkan kalau ada investor yang mendampingi pengusaha kecil seperti dirinya. “Atau pemerintah memberikan dana bergulir, yang saya minta bukan uang tapi peralatan. Indonesia termasuk penghasil kelapa terbesar, tapi lebih besar Philipina mengekspornya,” tegasnya.

Dia juga tak ingin terlalu sering ada acara pameran-pameran produk yang pastinya menghabiskan dana miliaran, namun tidak begitu terasa manfaatnya buat pebisnis sepertinya. “Event seperti ini manfaat untuk pengusaha mikro tidak ada, padahal kalau even di hotel lebih banyak biaya yang dikeluarkan negara miliaran rupiah, kalau dana itu digulirkan untuk usaha bagus dishare ke pengusaha kecil yang produknya punya peluang ke depan,” pungkasnya. (nina rialita/terbit di Majalah Inspirasi Usaha (Makassar), edisi Juli 2013)

UD Sinar Nias
Darmansyah
Alamat : Jalan Pattimura No 75
Gunung Sitoli-Nias
085261634164

Lydia Gabe-Kreasi Tas Kulit dari Jiwa Wirausaha

Sebuah penyampaian teori berbarengan dan prakteknya, biasanya adalah cara yang ampuh bagi pengajar saat mentransfer ilmu kepada anak didiknya. Inilah yang dilakukan Lidya Gabe, dosen mata kuliah wirasta di sebuah kampus swasta, LP3I di Medan. Perempuan berusia 34 tahun ini sudah membuka bisnis pembuatan tas handmade berbahan baku kulit binatang, seperti ular, ikan pari, buaya, biawak dan lainnya. Usaha ini dilakoninya dalam enam bulan terakhir. Produk yang dihasilkan sangat beraneka ragam dengan corak warna yang mewah.

Lidya yang juga alumni LP3I Jurusan Sektetaris mengaku bisnis ini terinspirasi karena ingin memberikan role model atau contoh nyata dari seorang dosen kepada mahasiswa/mahasiswinya tentang jiwa wirausaha. “Saya mau membuka pola pikir mahasiswa saya, bahwa jangan selamanya mengharapkan jadi pegawai. Kalau bisa mencoba untuk membuka wirausaha sendiri walaupun dari skala kecil, tapi paling enggak bisa mengurangi pengangguran yang paling dekat untuk diri kita sendiri. Kita juga enggak bisa hanya mengharapkan lapangan kerja dari pemerintah yang nyatanya belum bisa memberikan UMR yang memadai,” ujarnya saat ditemui di standnya di acara North Sumatera Investment, Trade and Tourism Expo (NSITTE) di Hotel Tiara Medan, awal Juni 2013.

Tas Kulit (1)

Lidya yang dikenal fashionable ini kemudian mencari celah usaha melalui gooling di internet. Dia melihat begitu besarnya pangsa pasar produk fashion dari kulit. Ditopang kenalan yang punya perusahaan distributor kulit di wilayah Sumatera dan Jawa, Lidya beranikan diri membuka usaha dengan modal saat itu Rp5 juta. Dalam proses pembuatannya di awal, Lidya memesan kulit dan mendesain sendiri mulai dari pola, warna dan langsung menjahitkannya kepada penjahit kulit yang sudah dipercayanya dengan kinerja kualitas ekspor. Produksi awal adalah sepuluh tas, promosi dilakukannya dengan sangat sederhana. Dia mengenakan tas jadi tersebut ke kantor, ke acara teman-teman dekatnya dan ke koleganya. Tanpa disangka, semuanya tertarik. “Awalnya saya buat, sepuluh tas, langsung dilirik sama perusahaan BUMN (PTPN IV). Saya disuruh jadi mitra mereka untuk bergabung. Sejak itu, saya mulai percaya diri, apalagi pada produksi berikutnya saya serahkan ke konsumen mau model dan warna seperti apa, saya tinggal desain cari bahan ke mitra perusahaan kulit dan langsung diproses jahitannya. Kemudian, semua berjalan lumayan mulus sampai sekarang, apalagi saya mulai ikut pameran-pameran seperti ini, jadi pesanan makin banyak,” ungkapnya.

Selain tas, Lidya merambah ke dompet, sepatu wanita dan pria dalam koleksi produk jualnya. Meski diakuinya, tas perempuan paling diminati, terutama berbahan baku ular. Dengan bahan baku yang tak biasa, harga tas yang dibanderolnya memang tak murah dan tergolong untuk kalangan menengah ke atas. Alhasil, dalam pesanan barang, Lidya memberlakukan sistem panjar. “Tas kulit ular paling laku, kalau buaya dan biawak itu hanya tertentu yang mau, karena bahan bakunya tidak begitu banyak dan modalnya juga besar. Saya berlakukan panjar dan memastikan konsumen yang pesan memang benar-benar mau beli baru dibuat. Tapi, kalau orang yang sudah saya kenal, saya tidak pakai sistem panjar, kecuali konsumen yang baru kenal. Dan untuk di acara pameran dan saya buka stan biasanya pembeli tinggal pilih saya dan bayar cash,” tuturnya.

Untuk satu tas bisa dibanderol Rp800 ribu hingga Rp3jutaan. Sedangkan, dompet berkisar Rp400 ribu sampai RpRp600 ribu, untuk sepatu Rp500 ribu hingga Rp600 ribu. Dia mengakui terkadang terkendala kalau permintaan konsumen yang detail sehingga memakan waktu dalam proses pembuatannya. Dia mengatakan kalau stok bahan baku ada, maka satu produk bisa selesai dalam tiga hari, tapi begitu stok kosong dan konsumen butuh pola dan pewarnaan yang sangat detail bisa memakan waktu satu bulan. “Iya, kalau butuh yang aneh-naeh ya butuh satu bulan baru siap, karena proses penyamakkan dua minggu, direndam air bisa tiga hari, diwarnai tiga hari, proses finishing tiga hari. Tapi konsumen memang sudah diberitahu tingkat kesulitannya dan mau menunggu proses siapnya, namanya konsumen adalah segalanya,” jelasnya.

Lidya juga mengatakan tak ingin terus dicap hanya mengakomodir kalangan menengah ke atas yang menjadi konsumen produknya. Dia sudah punya rencana untuk membuat produk yang harganya bisa murah dan terjangkau bahkan untuk anak kuliahan, seperti mahasiswanya. “Konsumen memang terbatas kalangannya untuk saat ini. Hanya mereka yang mengerti kulit yang mau mengeluarkan duit begitu besar untuk satu tas. Tapi, saya dalam waktu dekat ini ingin membuat bahan baku tasnya dari kulit dan campuran lain. Misalnya tidak harus kulit ular atau buaya, tapi bisa limbah kulit domba, atau kambing tapi di pinggirnya dihias dengan sisa jahitan tas kulit ular. Atau juga bahan utamanya goni yang unik tapi di pinggirannya nanti tetap kulit sisa hasil jahitan. Jadi harganya bisa lebih murah dan tetap fashionable, termasuk mau buat tas ransel dan sandang buat anak kuliahan,” beber warga Jalan Perjuangan Gang Hidayat No 1 ini.

Untuk produknya ini, sudah sampai pasar Pulau Jawa seperti Jakarta dan beberapa kota di Jawa. “Dalam sebulan bisa 20 sampai 30 tas yang laku, memang mayoritas tas yang dipesan,” timpal perempuan yang juga sempat mengajar di jurusan kepribadian ini.

Selain menjadi stok kulit dari mitra perusahaan kulitnya, Lidya mengaku kendala lain adalah datang dari dirinya sendiri soal waktu. Dia belum bisa melepaskan pekerjaan lain untuk bisa fokus ke usahanya ini. “Saya bisa dibilang belum seratus persen di sini, karena saya masih tetap mengajar jadi dosen dan juga pengusaha kontraktor. Ke depan saya ingin fokus termasuk buka galeri dengan tetap mengandalkan proses handmadenya. Walau, saya enggak bisa pungkiri profesi saya juga yang membuat saya punya banyak link, sehingga bisa memasarkan produk ini dengan mudah. Dari mulut ke mulut hingga melihat apa yang saya pakai, dan akhirnya produk yang dibuatpun enggak lama langsung terjual,” ucapnya.

Tapi, fokus ke usaha ini bukan main-main, Lidya ingin serius apalagi dia melihat bukan satu-satunya pengusaha yang mengandalkan produk tas berbahan kulit. “Makanya saya harus mengutamakan kualitas, membayar tukang yang bisa menjahit ala handmade dengan kualitas ekspor, supaya sentuhan kulitnya setelah tas produk itu sangat rapih. Dalam membuat modelnya, saya juga enggak mau banyak. Agar konsumen merasa barang yang dipakai bukan pasaran, harus istimewa yang memakainya,” pungkasnya. (nina rialita, terbit di Majalah Pengusaha Indonesia (Jakarta), edisi Juli 2013)

Tara Bunga-Produk Bernilai dari Daur Ulang

Pemanfaatan bahan baku sisa atau daur ulang untuk dijadikan produk bernilai jual tinggi semakin pesat berkembang. Apalagi, peluang pasarnya juga tak lekang dimakan jaman. Konsumen yang sadar lingkungan mulai paham dalam pemilihan barang-barang seperti ini. Satu diantara pebisnis berbasis bahan baku sisa adalah Justamin Sitanggang. Pria berusia 42 tahun ini membuat beraneka ragam vas bunga, tempat tisu, bingkai dan lainnya yang bahan bakunya dari ranting pohon yang sudah mengering, batok kelapa, triplex bekas dan batu alam.

Pria yang membuka galerinya di Jalan Seksama, Gang Sakti No 14 A, Simpang Limun, Medan ini menamai usahanya Tara Bunga. Sebuah nama yang sesuai dengan nama kampung kelahirannya di Samosir, Sumatera Utara. Sejak lima tahun lalu, Justamin merancang berbagai mode pot bunga dari yang kecil sampai tinggi menjulang sesuai selesai pasar. Jika melihat karyanya, tidak disangka bahwa bahan bakunya sangat sederhana dan dari barang bekas. Dia mampu mengubah bentuk kayu bekas itu menjadi baru dan sangat rapih serta detail dalam pengerjaannya.

Kerajinan Samosir (3)

Justamin mengatakan semua bahan baku, mayoritas diambil dari Samosir, termasuk batu alam atau cangkang kerang-kerang kecil yang banyak berserakan di pinggir pantai. Dia menggunakan tenaga keluarganya yang ada di Samosir untuk mengutip ranting-ranting yang sudah tua, kayu bekas dan batok kelapa untuk dikirimkan ke Medan. “Kalau saya harus mengandalkan bahan baku walaupun bekas di Medan harus dibeli, walau dengan harga yang murah misalnya, tetap harus keluar dana. Jadi, saya manfaatkan yang ada di kampung. Ada keluarga di sana. Jadi, dua kali sebulan mereka drop ke Medan,” ujarnya.

Dalam membuat produknya, Justamin mengaku belajar secara otodidak. Pengerjaan di awal sempat gagal, namun dia pantang menyerah dan terus berusaha hingga mendapatkan master piece yang kemudian diikuti produk lainnya. Selain bahan baku bekas, dia membutuhkan pewarna kayu juga perekat, sedangkan untuk pengering masih menggunakan cara alami dengan pemanfaatan cahaya matahari. “Pengeringan tergantung cuaca, karena pengeringannya masih alami. Memang proses terlama itu ada di pengeringan. Kalau untuk menempel paling hanya butuh sepuluh menit. Kalau semuanya lancar, satu hari bisa selesai tujuh produk,” ungkapnya.

Proses pemasaran produk ini, lanjutnya tidak terlalu banyak kendala. Karena, Justamin sudah punya konsumen sendiri yang dibangunnya sejak menjadi penjual bunga plastik tahun 1994 sebelum beralih ke Tara Bunga lima tahun belakangan. Dia menceritakan, berhenti menjadi penjual bunga berbahan baku plastik karena ingin mandiri dan menghargai karyanya. “Kalau dulu, yang saya jual kan produk jadi milik orang lain. Kalau sekarang saya jual karya yang saya buat. Jadi bedannya di situ, karena dulu sudah ada pelanggan, ketika berganti usaha ini konsumen masih tetap dijaga dan mereka menerima dengan baik,” jelasnya.

Untuk satu produk, Justamin pun tak membanderol harga yang wah. Karya seninya tersebut masih bisa dijangkau dengan harga termurah Rp20 ribu dan paling mahal Rp120 ribu. “Makin mahal harga biasanya tergantung dengan tingkat kesulitan produk tersebut. Atau semakin banyak bahan baku yang digunakan untuk produk jadi semakin mahal harganya,” timpalnya.

Menurutnya, permintaan pasar lebih banyak di vas bunga. Khususnya jelang hari raya dan natal. Permintaan bisa naik hingga 150 persen. “Jadi pesanan memang enggak rutin setiap bulan, ada momen tertentu yang membuat permintaan melonjak. Kalau natal dan lebaran permintaan sangat banyak, kadang kami kewalahan. Bisa naik 150 persen,” jelasnya. Kalau untuk konsistennya pesanan, dalam sebulan, Justamin bersama lima pekerja yang membantunya dalam proses pembuatan bisa menjual 500 produk dengan omset Rp15 juta. Ini di luar momen hari raya dan natal.

Dia mengaku balik modal usaha berbahan baku bekas memang cepat. Dia hanya membutuhkan modal Rp2 juta di awal dan satu tahun kemudian sudah balik modal dan tahun berikutnya sudah mendulang untung. Tapi, di sisi lain Justamin masih belum bisa merambah pasar luar Sumatera Utara. Produknya masih mencapai Tarutung, Balige dan daerah di Sumatera Utara. Kendala terbesarnya adalah kelemahannya dalam memahami teknologi. “Itulah masalah saya, saya lemot teknologi. Mungkin kalau sudah paham promosinya bisa lebih gencar dan merambah pasar Indonesia,” ungkapnya sambil tersenyum.

Soal persaingan usaha berbahan baku bekas, Justamin mengaku memang banyak saingan saat ini. Tapi, dia percaya masing-masing pengusaha berbasis daur ulang punya sentuhan tangan berbeda. Seperti karyanya, tidak ada yang menyamainya. Walaupun ada yang mirip, tetap ada yang beda. “Begitu juga dengan pengusaha lain, mereka punya ciri khas yang mengena di hati konsumen. Pada intinya ya mempertahankan kualitas karya,” ucapnya. (terbit di Majalah Pengusaha Indonesia (Jakarta), edisi Juli 2013)