Smart Edu Tools

Smart Edu Tools (2)

Smart Edu Tools (3)
Berangkat dari rasa resah dengan kebiasaan para orangtua yang lebih bangga memberikan perangkat teknologi daripada mainan tepat guna, seorang Siti Aisyah membangun sebuah bisnis reseller bertajuk Smart Edu Tools. Perempuan berusia 27 tahun ini memulai usahanya sejak 2007 dengan menjual beragam produk bernilai edukasi untuk anak-anak dari usia dini. Sebut saja, mainan kayu, balok kayu, city clown, jam kayu, seluncur mobil, bowling, lego, e-book, buku bantal, abaca flash card, jari al-Quran, kalender Ramadhan dan lainnya. Ada juga mainan yang buatan tangannya sendiri yaitu mainan dari flannel seperti boneka jari, kubus, angka, huruf dan lainnya.

Ibu dua anak ini menjelaskan, pada awal membuka usaha hanyalah dropship barang lalu mengandalkan jualan dengan foto-foto produk yang disebar via facebook. Dengan antusias yang baik, Aisyah-sapaan akrabnya, lalu mulai menstok barang sekira 200 item, pembelian barang yang banyak dari produsen juga meringankan biaya karena sebagai reseller dia bisa membeli dengan diskon 15 persen. “Jadi ini merupakan semua mainan cerdas yang sangat bermanfaat untuk perkembangan anak. Dan, sangat membantu orangtua untuk memberi stimulasi yang tepat untuk ananda tercinta,” ujarnya, minggu kedua Juni 2014.

Dia mengaku tak bisa tenang, begitu mendapati fakta dalam kehidupan masa kini, di mana orangtua sangat jarang memberikan mainan yang tepat untuk stimulasi buah hati tercinta. “Saya sangat ingin memberikan stimulasi terbaik untuk masa emas anak-anak saya secara pribadi, lalu saya mendapati kenyataan bahwa saat ini orangtua lebih bangga memberikan gadget yang notabene malah merusak dan mengganggu perkembangan anak. Oleh karena itu misi saya menjual mainan ini tidak sekadar mencari keuntungan, namun lebih kepada menyebarkan manfaat, serta mengedukasi orangtua,” paparnya.

Aisyah mengakui tak menemuik banyak kendala dalam pemasarannya. Selain memanfaatkan online marketing, Aisyah yang juga membuka bimbingan belajar secara langsung menjadi konselor bagi orangtua yang punya masalah anaknya dan menawarkan ke tempat pendidikan anak usia dini (PAUD). “Pemasaran via BB lebih profit. Dan untuk melebarkan pemasaran saya tawarkan ke PAUD/TK, teman-teman dan bazaar. Semua produk rata-rata disukai konsumen. Hanya kadang menimbang harganya, kesesuaian antara bahan baku dan harga. Tapi, saya biasanya mengatasinya dengan menerangkan manfaatnya, jadi mereka (orangtua) tidak hanya memberli bahannya, tetapi lebih pada manfaatnya,” ungkapnya.

Alumni Magister Psikologi ini mengurai konsumennya adalah orangtua yang memiliki anak usia tiga bulan hingga 12 tahun. Konsumen tak hanya dating dari Medan, juga Aceh, Depok, Makassar, Padang. Sedangkan stok barang resellernnya sebagian besar dari Jakarta, Bekasi dan Depok. Untuk boneka jari dibuat sendiri dari bahan flannel.

Dalam sebulan omsetnya rata-rata Rp3 juta hingga Rp5 jutaan. Dia mengatakan usahanya memang masih menapaki jalan sukses, namun seperti ditekankannya bahwa bukan keuntungan tujuan utamanya. Dia juga yakin meski banyak pesaing di usaha ini, cirri khasnya yang menyediakan layanan konsultasi gratis menjadi pembeda. Perempuan yang juga aktif sebagai relawan Kampung Dongeng ini juga menekankan pada bahan baku yang aman untuk anak-anak. “In Shaa Allah, bahan bakunya aman, karena saya cek terlebih dahulu secara detail setiap produk yang saya jual,” timpalnya.

Aisyah mengungkapkan, meski saat ini bimbingan belajar masih menjadi usaha utamanya, dia meyakinkan Smart Edu Tools akan menjadi sampingan yang utama. “Target ke depan, saya ingin mengembangkan usaha ini ke tingkat distributor tidak lagi sebatas reseller, bahkan saya ingin jadi produsennya jadi semua barang saya yang produksi. Karena saya ingin membuka lapangan pekerjaan buat yang lain. Saya juga ingin anak-anak tumbuh dengan baik yang dimulai dengan mainan yang edukatif,” ucap Aisyah yang mengandalkan dirinya sendiri dalam berbisnis. (nina rialita)

Smart Edu Tools
Owner : Siti Aisyah
Alamat : Jalan Bunga Cempaka Gang Kenanga No 9, Tanjung Sari Pasar 3, Medan Selayang.

Posted in 1

Roemah Spocut-Sepatu Lukis

Karya lukis tidak lagi monoton sebatas di atas kanvas. Tarikan kuas yang dibahasi cat beraneka warna bisa diaplikasilkan di media sepatu. Hasil jadinya membuat benda penutup kaki ini tampil lebih fashionable dan enak dipandang mata. Konsumenpun dimanjakan dengan berbagai lukisan karakter pilihan sendiri serta lukisan lainnya yang disenangi.

400859_2390211730085_2112997374_n

rs_972

Inilah yang menginspirasi seorang Tary Suwarno untuk memulai usaha yang diberinya nama Roemah Spocut empat tahun lalu. Perempuan berusia 24 tahun ini mengaku menjatuhkan pilihannya di bidang ini, lantaran belum banyak pesaing dan terkesan unik. Berbekal kemampuan melukis yang sudah ada sejak kecil secara otodidak, Tary mulai menata lukisan karakter. Empat tahun lalu, saat tokoh kartun booming, Tary mulai melukis tokoh kartun di sepatu yang dijajakannya.

trAY

Soal modal awal, Tary memang enggan merinci. Menurutnya, tak banyak yang harus keluar di tahap mula, karena hanya membutuhkan beberapa pasang sepatu unutk contoh ke konsumen. Selebihnya, dia memilih untuk menjajakan dengan sistem online. Dimana, konsumen yang mau beli harus pesan dengan pembayaran penuh, baru dikerjakan. “Bisa dibilang tidak terbentur biaya saat memulainya. Karena dari awal konsep kami hanya jual secara online, jadi tidak butuh untuk sewa toko display. Memang sempat menawarkan dengan sistem door to door, dari tetangga ke tetangga, sekolah ke sekolah, kampus ke kampus, dan terakhir melalui media online via website,” paparnya kepada Majalah Inspirasi Usaha, awal Januari 2014.

tary-1

Di kediamannya di kawasan Radio Dalam, Jakarta Selatan, sepatu-sepatu Roemah Spocut diproduksi. Di sini, pesanan dikerjakan mulai Senin hingga Sabtu bersama lima karyawan lainnya. Tidak lagi hanya sebatas tokoh kartun, Roemah Spocut memberikan keleluasaan kepada konsumen untuk memesan berbagai motif lukisan. “Baik yang sedang tren, motif retro, penyanyi idola, atau yang lebih girly,” tambahnya.

TARY-4

Dengan sistem online, Tary memang harus tegas terhadap konsumen. Pihaknya hanya akan memproses sepatu setelah menerima konfirmasi pembayaran. Untuk pengerjaan satu pasang sepatu sekira sembilan hari. Untuk harga dibanderol mulai Rp80 ribu sampai Rp150 ribuan di luar ongkos kirim. Harga sepatu bisa berubah (naik), jika konsumen menginginkan lebih misalnya ada penambahan tali sepatu berwarna, penggunaan vernis, glitter, model sepatu atau tingkat kerumitan desain. Untul penambahan tali sepatu warna akan dikenakan tambahan Rp3 ribu per pasang, vernis Rp5 ribu per pasang dan glitter Rp5 ribu per pasang. “Kalau untuk warna sesuka pemesan saja,” ujarnya.

tary-3

Usaha yang disebutnya masih berskala kecil ini, dalam sebulannya menerima pesanan 200-250 pasang sepatu dari seluruh Indonesia. dengan omset Rp15 juta hingga Rp17 juta sebulan. Di mana, pangsa pasarnya mayoritas remaja dengan usia 15 tahun yakni di bangku sekolah menengah pertama (SMP). “Tapi tidak menutup kemungkinan untuk anak-anak di usia di bawah atau di atas itu (15 tahun) atau bahkan ada orang tua,” ujarnya.

Namanya usaha, Tary juga mengungkapkan suka duka bisnisnya. Sejatinya untuk bahan baku sepatu polos tidak sulit didapat, dia membeli sepatu-sepatu lokal berwarna dasar putih di Jakarta. Namun, soal motif dan hasil jadi pernah dikritik konsumennya. “Kalau cuma tanya-tanya enggak jadi beli itu sudah biasa ya namanya jualan. Tapi, ada juga yang komplain bahwa barangnya tidak sesuai pesanan bahkan duit yang sudah ditransfer kami kembalikan. Bahkan, ada juga yang pesan barang sudah sampai tapi tidak dibayar, makanya sekarang kami harus tegas harus dibayar penuh. Karena memang bisnis online seperti ini selain juga produk juga jual kepercayaan,” tukasnya.

tary

Tary menambahkan Roemah Spocut adalah lahan bisnis yang akan tetap dijaga dengan baik. Dengan harapan bisa konsisten dan eksis di tengah persaingan bisnis yang ketat. “Oleh karenanya, kami terus meng-update pengetahuan tentang motif-motif terbaru terus inovatif, menjaga harga dan kualitas yang kompetitif,” bebernya.

Soal target, dirinya meyakinkan tetap menjalankan bisnis ini dengan sistem online. “Tetap mengutamakan online ya kemudian ingin mengembangkan usaha menjadi bisnis frainchise, dan tentunya menambahkan jumlah karyawan,” ucapnya. (nina rialita)

Roemah Spocut
Nama : Tary Suwarno
Alamat : Jalan Radio Dalam, Jakarta Selatan
Nomor Telepon : 0857 787 501 97
Pin BB : 329DFB6D
Website : http://www.roemahspocut.com

Srikandi Embroidery-Produknya Diminati Pasar Mumbai

Nina-ist-Srikandi-Pak Suwito dapat penghargaan dari Menteri.JPG

Bermodalkan kerja keras, Suwito pemilik CV Srikandi mampu menjawab cibiran teman dan keluarga terdekat tentang pilihan usahanya. Seorang alumni sarjana teknik yang sempat jadi asisten dosen malah memilih melakoni bisnis desain fashion dan bordir hingga produknya diminati pasar Mumbai, India.

Tidak hanya itu, Suwito juga baru saja menerima penghargaan Paramakarya 2012 dari Menteri Tenaga Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Suwito bersama enam lainnya masuk kategori usaha tujuh menengah di Indonesia. Suwito tidak hanya fokus pada pengembangan usaha berbasis profit di Srikandi Embroidery, tapi juga membangun Yayasan Srikandi yang melatih tenaga kerja menjadi terampil dan mampu berusaha sendiri.

Pria berusia 54 tahun ini memulai mandiri berkarir tahun 1985, sebuah masa di mana dia harus bekerja lantaran butuh biaya untuk kuliah. Semester dua kuliah, dia bekerja di kontruksi bangunan gedung dan semester enam menjadi asisten dosen teknik sipil di salah satu perguruan tinggi di Medan hingga tahun 1991.

Di tengah kesibukkannya, bersama sang istri yang juga kuliah sambil bekerja mengajar di sekolah-sekolah, Suwito mencoba melatih di daerah Sunggal. Ini didasari kemampuan istrinya yang memiliki teori ketrampilan namun urung mempraktekkannya. “Saya dan istri ingin bagaimana masyarakat bisa berlatih cepat tepat dalam ketrampilan. Setelah kami rangkum dan kami mengetahui metodenya, dan setelah istri saya melahirkan, dia berhenti bekerja. Dan tahun 1996 kami membangun CV Srikandi. Namun, dalam perjalanannya tidak maju, karena saya masih sibuk kerja di tempat lain. Akhirnya, tahun 1997 saya berhenti kerja total dan fokus di usaha ini,” ujarnya saat ditemui di tempat usahanya Jalan Pintu Air IV Gang Keluarga No 16 Kwala Bekala, Medan.

Nina-Srikandi Bordir (3)(1)

Awalnya, banyaknya pesanan, namun tidak berbuah manis, lantaran Suwito tidak bisa memenuhi orderan. Alhasil, dia membuka lembaga pelatihan gratis, di mana para alumninya di terima bekerja di tempatnya. Baru saja ingin menikmati hasil jerih payahnya, krisis moneter datang tahun 1998, Suwito sempat drop, dari membuka usaha di Cikal Universitas Sumatera Utara harus pasrah tidak di sana lagi. Namun, tidak sampai usahanya hancur, Suwito beruntung masih aktif ikut dalam kerja sama dengan pemerintah, satu diantaranya Program Penanggulangan Pekerja Terampil (P3T). “Sejak itu produk kita eksis. Lalu saya balik kemari (buka usaha di rumahnya). Banyak yang mencemooh dan kurang sreg. Misalnyam alumni sarjana kok usaha ini, apalagi saat itu sedang jatuh bangun,” timpalnya.

Namun, bapak satu putri ini menafikan semua cibiran. Dia tetap mengepakkan sayap, dengan membangun unit usaha lainnya selain CV Srikandi, Yayasan Srikandi, dia membuat koperasi dan asosiasi Srikandi yang ditujukan untuk para alumni yang ikut pelatihan. Untuk pelatihan, Suwito dan istri terus bekerja sama dengan pemerintah. Dia bahkan meminjamkan satu meskin jahit untuk pelatihan baik itu membordir dan sejenisnya di desa dengan target dalam setahun kelompok yang dilatih sudah bisa membeli mesin sendiri. Agar mesin-mesin lain bisa disalurkan ke lokasi lain untuk pelatihan. Total saat ini sudah ada 2000-an yang dilatih dan tersebar di Pulau Sumatera.

Ketrampilan Suwito dan istri dalam membuat bordir, payet, kaftan dan produk sejenis lainnya semakin terasah, apalagi tahun 1987 sudah belajar formal dan sempat mendapatkan pelatihan dari pemerintah ke Australia. Dan juga menerima kesempatan mengunjungi pusat usaha kecil menengah di negeri jiran, Malaysia, Thailand dengan sponsorship Kanwil Koperasi. “Kami melihat usaha kecil di Malaysia, Thailand,

Di lokasi usahanya ada tiga bangunan yang saling berdekatan digunakan dengan delapan pekerja yang membantu. Rata-rata dalam seminggu bisa menghasilkan 72 kebaya, 190 meter renda perhari baju, telekung, seprai, asesoris dan berbagai pesanan lainnya. Ada enam mesin kecil, satu mesin massal dan komputer. Tidak hanya untuk Sumatera, produknya juga diminati pasar Mumbai (dulu disebut Bombai) India. Melalui pihak ketiga, Suwito menerima berbagai orderan. “Bahan dari mereka (pihak ketiga). Pemesan ada keluarga di India yang punya usaha di sana. Jadi mereka rutin memesan ke kami. Rata-rata 200-300 potong bordiran dalam seminggu,” jelasnya.

Saking banyaknya pesananan, pria kelahiran 16 Maret ini tidak sempat memenuhi produksi usahanya. “Kita mengerjakan sampai 2014 sudah penuh orderan. Kami enggak produksi di luar pesanan, karena takut enggak bisa tersanggupi,” tegasnya.

Suwito sudah jatuh bangun dalam berusaha, dia memaparkan semua butuh tekad yang kuat. Dia mencontohkan, awalnya membeli alat jahit secara nyicil. Satu mesin jahit harganya Rp2 juta. “Awalnya kesulitan, karena peralatannya besar. Kami enggak beli sekaligus. Tapi menyicil. Untuk mesin saja Rp2 juta, untuk kain satu gulung ada yang Rp3-5 juta. Ya saya sempat jual aset untuk membangun ini dan pinjam ke bank. Untuk usaha ini banyak habis di gaji karyawan, karena mereka dibayar perminggu,” beber Suwito yang enggan membeberkan omset usahanya ini.

Nina-Srikandi Bordir (1)

Dari tahun 1996, Suwito dan istri baru merasakan usahanya dalam kategori sehat tahun 2006. “Ya sudah dapat tempat kerja atau lokasi usaha yang enak. “Selain sisi bisnis, saya sampai sekarang tetap eksis untuk pembinaan ke masyarakat. Paling enggak walau enggak banyak, tapi sudah bisa membantu masyarakat. Saya juga tanamkan ke anggota saha, kalaupun sarjana jangan berkecil hati untuk usaha ini. Makanya, ada juga yang S2 mau ikut pelatihan,” pungkasnya. (nina rialita/terbit di Majalah Inspirasi Usaha, Edisi Januari 2013)

Roma Girsang-Menjadikan Ulos Lebih Fashionable

Menjadikan Ulos lebih Fashionable

pic : nina

pic : nina

Jika selama ini kain ulos khas etnis Batak hanya digunakan saat ritual dan seremoni adat, di tangan Roma Girsang, ulos bisa lebih merakyat. Dari ide kreatifnya, bahan baku kain ulos terciptalah tas, rompi, dan berbagai suvenir lainnya. Pasar meresponnya dengan baik, pelanggannya bukan hanya dari Indonesia tapi juga dari luar negeri, Eropa, Amerika dan tentu Asia.

Roma mengawali kisahnya terjun ke bisnis bernama Kriya Ulos ini tahun 2008, atau dua tahun setelah dia membuka usaha Rawigi Craft, usaha kerajinan berbahan kulit asli. Usaha dari berbagai produk kulitnya berkembang pesat. Namun suatu ketika dia ikut pameran di luar daerah. “Banyak orang bertanya asal daerah saya, begitu saya bilang dari Sumatera Utara, mereka menggugah batin saat mempertanyakan mengapa saya tidak membuat produk yang juga bisa mengangkat budaya tanah kelahiran. Mereka bilang, Sumatera Utara kan ada ulosnya, mana kok enggak ada ditampilkan. Mulai dari situ saya terinspirasi,” ujarnya kepada saat ditemui di galeri usahanya di Jalan Teratai No 14 Medan.

Berangkat dari itu, Roma langsung terbang ke Medan dan mendapati banyak ulos milik ibunya di lemari. “Karena bagi orang Batak, ulos adalah lambang kasih sayang. Hanya digunakan di pesta dan acara ritual. Lalu aku ambil satu per satu dan kujadikan tas,” timpalnya.

Tak disangka, kreasinya itu disambut positif, pelanggannya bukan hanya etnis Batak tapi juga lebih memasyarakat, banyak etnis Thionghoa dan suku-suku lainnya yang suka menggunakan produk berbahan ulos ini. Untuk mendapatkan produk yang beda, peremuan berusia 45 tahun tidak membuat produk yang sama dalam jumlah yang banyak. Satu model dipastikan dengan warna berbeda-beda. “Sesuai jiwaku yang ekspresif, aku padukan ulos yang kebanyakan warna gelap dengan warna jreng. Aku senang sekali, karena yang membeli bukan orang Batak saja, ada orang China, Jawa dan dari Indonesia bagian Timur, makin semangatlah aku mendesainnya. Berkembang sampai pembelinya banyak dari kalangan instansi dan jadi oleh-oleh khas Medan selain Medan dikenal dengan makananannya. Sebagai putri Batak itulah sumbangsihku terhadap budaya,” bebernya.

Perempuan yang masih single ini mengaku tidak begitu kesulitan memulai usaha ini. Roma yang sudah punya pangsa pasar sendiri di produk kulitnya hanya memperkenalkan ulos ke konsumennya. “Bisa dibilang memasarkan ulos ini tidak dari nol. Aku perkenalkan ke pelanggan produk kulit, bahwa aku punya produk yang mengangkat budaya di Indonesia dari kain tenun ulos. Dan luar biasa sambutannya,” ujarnya. Bedanya, jika untuk usaha berbahan baku kulit, Roma memasarkannya ke luar negeri seperti Amerika Serikat, China, Jerman dan negara Eropa lainnya, sedangkan ulos sampai ke negara tersebut lantaran beli di Indonesia dan banyak beli lewat internet dan dikirim ke luar negeri.

Produk berbahan baku ulos ini disebut anak keempat dari enam bersaudara ini sedang naik daun. Dalam sebulan hampir 2000 tas diproduksi dan 60 persen terserap di pasar. Belum lagi suvenir, contohnya penghias rambut sebulan diprodukdi 10 ribu produk, 3000 gelang, 1500 undangan batak dan lainnya. Dan, kadang habis terjual jika ada pesanan membludak. Untuk bahan bakunya, buah hati pasangan Liman Girsang, Katarina Barus ini menggandeng penenun, tapi bahan dasar dipilihnya sendiri. Seperti benang untuk tenun ulos dibeli dari Bandung dan Jakarta dengan kualitas yang terjaga. Untuk kain ulos dijualnya dari harga Rp50 ribu hingga Rp3 juta, tas dari Rp90 ribu sampai Rp350 ribu dan suvenir dari Rp5 ribu sampai 27 ribu. “Kriya Ulos memang sedang gencar-gencarnya. Dalam sebulan bisa mendapatkan omset Rp27 jutaan,” ujarnya.

Kesibukkanya di produk ulos, Roma mengaku tak melepaskan produk kulit. Dalam sebulan, dia tetap memproduksi 1500 produk kulit berupa tas, dompet, tali pinggang, gelang, bando dari kulit biawak, ular, ikan yang bahan bakunya didapatkan dari seluruh Sumatera Utara dengan omset puluhan juta. Kini, galerinya penuh dengan dua produk berbahan ulos dan kulit.

Perempuan kelahiran 16 April ini mengatakan, terjun di dunia bisnis fashion ini sejak 2006 karena enggak ada pilihan. Istilah ini disebutnya lantaran sejak SMA suka penyuka desain. “Sejak sekolah aku tahu jiwaku di bidang desain. Tapi tahun 1980-an, desain itu dianggap bukan sekolah, aku kemudian dimasukkan sekolah bidang ekonomi. Cita-citaku saat itu sempat memudar. Apalagi, setelah tamat sekolah aku langsung kerja di berbagai bidang, properti, asuransi, real estate, perbankan hingga akhirnya di perusahaan pupuk di Riau tahun 2000,” kenangnya.

Menjalani empat tahun di Riau, Roma mendapati banyak petani di sana memburu ular karena sebagai hama, ular memakan janjang sawit.Ular diburu agar tidak menggagalkan panen sawit. Melihat itu, Roma berpikir, sayang sekali ular-ular yang diburu itu. “Aku liat kok dibuang sayang. Di sana, aku banyak berteman dengan transmigran dari Jawa. Mereka memberi tahu kalau mau mengolah kulit ular hanya tinggal beli mesin bekas. Dari situ, aku habiskan Rp500 ribu itu untuk mesin dan bahan kimianya,” tutur perempuan yang kini juga acapkali didaulat sebagai motivator di bangku sekolah, kuliah dan instansi ini.

Memulai kreativitas dengan produksi awal sepuluh tas dari kulit dijualnya ke relasinya di perusahaan. Tak disangka, kesepuluhnya laris. Dia membuat 50 tas juga habis. “Aku heran kok bisa selaris ini, aku cek internet, ternyata pasarnya mendunia. Jadi pulang ke Medan, aku langsung buat di rumah. Aku membawa transmigran yang mengajari soal mengolah kulit ular ini. Kemudian, aku memasarkan ke konsulat-konsulat di Medan. Aku jemput bola, aku enggak mau, karena aku enggak mengemis dan akhirnya sampai sekarang sudah mendunia produk ini,” ucapnya.

Bisa sampai tahap ini, Roma memegang kunci sukses yakni saat berbisis gunakanlah seluruh kekuatan pikiran, hati semua indra. “Tidak usah dengar kanan kiri terutama yang miring dan malah membuat kita pemisis. Harus maju terus, tekad. Selanjutnya, usahakan jangan sampai menunggu produk sempurna baru dijual. Jual saja, karena berjalan dengan waktu dari pembelilah kita baru tahun kekurangan produk kita seperti apa dan ke depan akan menjadi sempurna. Selain itu, jadikanlan pembeli adalah teman bukan sekadar lahan mendapatkan uangnya,” ungkapnya. (nina rialita)

Terbit di Majalah Pengusaha Indonesia, Edisi Desember 2012

Alween Ong-Owner CV Alcompay Indonesia

*Terbit di Majalah Pengusaha Indonesia, Edisi Oktober 2012

Alween Ong

Saatnya Mahasiswa Membuka Lahan Pekerjaan

Kerja keras menjadikannya seorang pengusaha muda dan meraih berbagai penghargaan. Di usianya yang masih 27, Alween Ong sudah mengembangkan berbagai jenis bisnis sebagai pemilik CV Alcompany Indonesia.

Mencapai titik sukses, tidak diraih dengan mudah alumni Fakultas Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara (USU) ini. Dari tahun 2003 saat memasuki bangku kuliah, Alween sudah melakoni berbagai usaha untuk memenuhi kebutuhan hidup dan biaya kuliahnya. Mulai dari jualan berbagai jenis barang, guru les private, agen handphone, agen sepeda motor, operator mesin photocopy, penjual tali pinggang, sales kartu kredit juga bekerja di perusahaan penerbitan.

“Jadi dulu memang dari awalnya saya hidup terbatas. Minta kepada orang tua juga enggak mungkin. Ibu saya single parent (ayahnya meninggal). Saya mau kuliah dengan dana terbatas, saat itulah muncul tekad untuk kuliah tapi harus bisa bayar uang kuliah. Dari situlah, saya kerja serautan. Misalnya, ada teman yang nawarin jual tali pinggang, jualin handphone second, ngajar les. Sampai tahun 2006 akhir, saya keluar dari penerbitan. Awalnya saya enjoy, kerjanya enak dan nyaman. Tapi saya mikir, kalau berpaku di sana saya enggak bisa besar, karena gaji Rp1,2 juta per bulan, sudah dipatok, sementara kebutuhan naik,” tuturnya.

Kesempatan menjadi pengusaha menaungi Alween. Usaha menjualkan handphone second merambah menjadi teknisi handphone. Pada saat itu, seorang teman memintanya memperbaiki handphone. Alween membawa handphone tersebut ke toko reparasi handphone, dia memperhatikan dan akhirnya bisa memperbaiki sendiri. Kemudian, dia berani terima orderan dan membuka clinic handphone di sekitar kampus.
Usahanya berkembang, namun Alween masih mengandalkan diri sendiri untuk membangun usahanya. Padahal saat itu, dia mulai dikenal dengan kerja kerasnya dan kemudian ikut kompetisi wirausaha muda mandiri katagori mahasiswa tahun 2008. Alween menjadi wakil wilayah I Sumatera Bagian Utara (Sumbagut) ke Jakarta.

Pada saat presentase seleksi di Medan, Alween memukau dewan juri. Tak banyak yang diungkapkannya. “Saat itu, Saya bingung mau presentase apa, karena omset masih kecil Rp1,2 juta sebulan sama seperti saya kerja sama orang. Jadi saya katakan alasan saya mau jadi pengusaha. Bahwa, kalau semua orang jadi pekerja, jadi yang membuka lahan pekerjaan siapa, sementara yang membutuhkan pekerjaan banyak. Saya memilih jadi pengusaha karena saya bisa banyak berbagi kepada orang-orang dan tentunya saya bisa membuka lahan pekerjaan buat orang lain,” tutur Indonesia Delegation for China ASEAN Youth Camp tahun 2010 ini. Dia mengurai, saatnya mahasiswa membuka lahan pekerjaan bukan mencari kerja.

Selepas itu, Alwen membuka usaha di sebuah plaza bernama Grand Palladium. Tahun 2009, dia merekrut beberapa pekerja membangun clinic handphone. Waktu berjalan, Alwen terus mengembangkan sayap dengan membuka digital printing di lokasi yang sama hanya beda beberapa blok di lantai II Palladium. Dan tahun 2010, Alween membuka Alcompany Indonesia. “Ada perusahaan clinic handphone, digital printing, Alco itu ibarat manajemennya. Saya buka usaha di Tebingtinggi bergerak di bidang pupuk, juga ada usaha lain yang fokus di ikan dan di Aceh bergerak di bidang penanama jagung. Alco juga ada pelatihan kewirausahaan. Kami buat manajemen dengan beberapa line. Belajar juga dari Bank Mandiri. Bagaimana membangun usaha dan bisa berguna bagi warga sekitar,” jelasnya.

Perempuan kelahiran Padang, 29 Januari 1985 sering diundang menjadi narasumber dan trainer untuk berbagai seminar motivasi baik di Jakarta dan Medan. Tahun 2009-2012, Alween sudah menemukan positioning yang tepat untuk usahanya, yang semula menjadi store (toko), kemudian membantu orang yang mau membuka store dengan konsep kemitraan.

Meski begitu, Alween masih belum mau menyebut usahanya besar, dia lebih memilih kata berkembang. “Ya dari awal modal Rp8 jutaan minjam dari kawan ditambah R2 juta modal tabungan, saya membangun usaha ini. Awalnya di Clinic Handphone tidak sampai setahun, saya sudah balik modal. Karena dulu tidak ada bayar SDM saya one man show. Kalau saat ini, biaya operasional mencapai Rp30 jutaan perbulan dengan omset keseluruhan di semua usaha Rp250 juta,” akunya.

Dari berbagai usahanya, Alwen mengaku Narsis Digital Printing paling banyak peminat, khususnya anak muda dan sudah merambah negeri tetangga, Malaysia dan Singapura. Produknya bervariasi, dari mug, pin, kaos, topi dan lainya. Mug dihargai Rp25 ribu, pin Rp5 ribu dan kaos Rp65 ribu. “Banyak pesanan, dan sekarang lebih simpel. Kalau mau pesan tinggal kirim saja desain maunya seperti apa via email, kami tinggal cetak, atau boleh datang langsung ke lokasi. Sedangkan, untuk clinic handphone juga lumayan, kami berikan perbaikan mulai harga Rp5 ribu dan konsultasi gratis,” jelasnya. Bagi yang ingin ikut kemitraan, satu paket usaha digital printing untuk pin senilai Rp3,5 juta, mug Rp3,5 juta, ID card Rp1,6 juta dan kaos Rp6,3 juta.

Peraih penghargaan dari Kementerian Pemuda dan Olahraga sebagai Wirausahawan Muda Berprestasi tahun 2009 ini berharap, jiwa-jiwa wiraswasta terus bermunculan sejak usia muda. “Karena, ini bukan karena faktor keturunan, tapi habit. Kita harus yakin dengan yang dikerjakan, kerja keras dan pantang menyerah dan harus mampu berguna bagi orang lain,” pungkasnya. (nina rialita)

Data
Nama : Alween Ong
Tempat/Tanggal Lahir : Padang, 29 Januari 1985
Orang Tua : Robert Ong (Ayah/Alm)
Fenny Anggrita (ibu)
Saudara : Anak kedua dari lima bersaudara
Alamat : Komplek Sisilia Residence No.48 Medan
Pendidikan : SMA-F Tendean Tebingtinggi, Sumut
S1-Universitas Sumatera Utara-Ilmu Politik
Usaha : Alcompany Indonesia
– Clinic Handphone
– Narsis Digital Printing
– CV Al Mubarokah
– Mind Action
– Coach Sedekah
Alamat Usaha : Grand Paladium Lantai II, Medan
Penghargaan : 2008-Wirausaha Muda Mandiri
2009-Wirausaha Muda Berprestasi dari Kemenpora
Mahasiswa Berprestasi di Bidang Kewirausahaan dari USU
2010-Indonesia Delegation for China ASEAN Youth Camp
No HP : 085270222677

Profil Ahli Forensik di Medan dr Surjit Singh, SpF, DFM

Lebih Dekat dengan dr Surjit Singh, SPH, DFM, Ahli Forensik (1)

//Dari Crime Scene Investigation hingga Tangani Kasus Dukun AS//

Dokter Spesialis Forensik tak banyak seperti bidang lainya. Di Sumatera Utarapun jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Satu diantaranya, dr Surjit Singh, SPH, DFM, Kepala Instalasi Kedokteran Forensik dan Mediko-Legal Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr Pirngadi Medan. Seperti apa geliat dunia kerjanya? —

DI ruangan yang akrab disebut sebagai kamar mayat itu, dr Surjit, sangat terbiasa dengan aroma jenazah. Sejak tahun 2002, bapak tiga anak ini sudah menjabat sebagai Kepala Instalasi Kedokteran Forensik. Kurun waktu 10 tahun ini, dia telah turut serta dalam berbagai pengidentifikasian jenazah untuk pengungkapan kasus yang berujung kematian. Sebut saja kasus Dukun AS. Dari 42 korban, warga Jalan Setia Budi kebagian tiga jenazah. “Itu salah satu kasus yang cukup berkesan. Mengingat peristiwanya menjadi isu nasional juga fenomenal,” ujarnya kepada SINDO di ruangan, kemarin.

Selain, kasus pembunuhan, Surjit juga sering menyumbangkan tenaga untuk kasus bencana alam. Tahun 2009 lalu, dia juga erbang ke Padang, Sumatera Barat, saat terjadi gempa. “Bersama dengan Polda Sumut, di sana kita ikut juga mengidentifikasi jenazah. Meski harus menempuh jarak, namun kasus bencana seperti ini membuat kita tidak hanya bergelut dengan identifikasi mayat tapi juga bercampur rasa iba melihat keluarga yang ditinggal,” bebernya.

Penyandang gelar Dosen Luar Biasa Universitas Sumatera Utara (USU) ini mengaku sangat menyatu dengan dunia forensik. Meski diakuinya, di usia mudanya, dia awalnya hanya ingin menjadi dokter. “Tak ada niat saya menjadi dokter forensik saat itu, saya memang ingin menjadi dokter umum. Namun saat itu, semakin saya belajar rasa ingin tahu saya semakin besar, dan tahun 1993 saya masuk spesialis sentra pendidikan forensik di Fakultas Kedokteran USU. Hingga sekarang saya sangat menikmatinya,” ungkap pria kelahiran tahun 1951 ini.

Terlebih, keponakan Ahli Forensik Prof Amar Singh ini, melihat saat itu, jumlah ahli forensik sangat minim dibanding dokter spesialis lainnya. Dia tak menampik kalau pertama kali sempat merasakan hal yang tak mengenakkan saat menginjakkan kaki ke Kamat Mayat. “Saat menjadi co-asst, mau enggak mau ya harus dijalan. Awalnya masuk ke kamar mayat dan menanganinya timbul rasa aneh dan agak takut, tapi belakangn karena sudah terbiasa, jadinya seperti enggak ada masalah,” paparnya. Surjit menjelaskan rasa nyaman bergelut di dunia forensik, juga karena hobinya menonton film bergenre horor. “Bisa dibilang saya penggemar crime scene investigation. Film yang mengungkap tentang kehajatan. Ini juga yang membuat saja semakin teguh menjadi ahli forensik,” tegas pria yang juga mengajar di Bagian Forensik Rumah Sakit Umum Pusat (RSUPHAM) ini.

Pria bertubuh besar ini mengatakan, saat ini dua dari tiga anaknya juga mengemban ilmu di Fakultas Kedokteran USU. Dia mengaku, sangat senang jika nanti anaknya menjadi ahli forensik. Namun sebagai orang tua, Surjit tak mau memaksakan kehendak. “Saat ini mereka masih belajar di tahap awal. Kalau nanti memlih seperti saya ya saya senang, tapi saya tak boleh memaksa. Tergantung bakat mereka dimana dan mau jadi dokter spesialis apa, kami orang tuanya mendukung saja,” jelasnya. (nina rialita)

Lebih Dekat dengan dr Surjit Singh, SpF, DFM, Ahli Forensik (2/habis)

//Mengonsumsi Air Hujan saat  Menjabat Kepala Puskesmas di Kalimantan Barat//
Sukses menjadi Ahli Forensik ternama di Sumatera Utara,  tak diraih dengan mudah oleh dr Surjit Singh. Bahkan, sebelum menikmati indahnya jabatan Kepala Instalasi Kedokteran Forensik dan Mediko-Legal RSUD dr Pirngadi Medan, pria berusia 59 tahun ini harus merasakan pahitnya hidup di desa terpencil di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat.

Pria yang menamatkan Dipploma  Forensic Medicine di Belanda ini, menuturkan, karirnya diawali saat mengajukan diri menjadi pegawai negeri tahun 1987 di Jakarta, usai menamatkan kuliah di FK USU. Saat itu, menurut Surjit, setiap tenaga medis yang ingin menjadi pegawai negeri, harus mau ditempatkan di desa.  “Dan saya memilih Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat.  Waktu itu, kondisi daerah sangat minim fasilitas. Saya di sana ditunjuk menjadi Kepala Puskesmas juga Kepala Sekolah swasta.  Karena kebutuhan air tidak sesuai dengan yang tersedia, saya bersama istri,  saat itu harus menggunakan air hujan untuk minum,” ungkapnya.

Sanggau, dijelaskannya ibarat desa yang tak sentuh. Air bersih yang tak sedia, membuat pilihan minum air hujan adalah alternatif terbaik.  “Desanya memang jauh. Untuk menjangkaunya, kita harus naik pesawat ke Pontianak dulu, lalu naik bis dan naik perahu satu harian,” tukasnya.

Pria yang juga mengikuti kuliah di Punjab University, India tahun 1985 ini, mengatakan meski jauh dari hiruk pikuk suasana ibu kota, dia mengaku puas. “Ada rasa kepuasan tersendiri. Karena saya dapat membantu dan mengabdikan disiplin ilmu dalam kesehatan untuk masyarakat sekitar yang membutuhkan,”  ujar warga Setia Budi ini.

Surjit berada di Kabupaten Sanggau tak lama. Tahun 1990, dia hijrah ke Pontianak. Dia diberi tanggung jawab sebagai Kepala Seksi Ibu di Dinas Kesehatan Tingkat I.  “Dan tahun 1992  saya diangkat jadi Kepala Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) Pontianak,” timpal bapak tiga anak ini.

Petualangannya usai saat tahun 1993, dia memilih mengabdi kembali ke Medan dan memperdalam ilmu forensiknya.  “Sejak saat itu, saja terus berada di USU mengambil spesialis, dan setelah tamat baru diangkat jadi Kepala Instalasi Forensik di RSUD dr Pirngadi Medan,” tukas dosen luar biasa di USU ini.

Keseriusannya, di bidang forensic, membuat Surjit sering dipanggil mengikuti pelatihan forensic, termasuk menjadi fasilitator.  Diantaranya, Disaster Victim Identification (DVI) di Surabaya. “Juga kadang sampai Singapura. Ini sangat penting untuk terus menambah ilmu dan berbagi ilmu,” timpalnya.

Pria  sebagian rambutnya mulai memutih ini sejatinya telah dilirik oleh Kementrian Kesehatan untuk bekerja di Pusat. Hal itu dikatakan Direktur RSUD dr Pirngadi Medan beberapa waktu lalu, saat pertemuan dengan Tim Kementrian Pendidikan saat meninjau rumah sakit dengan label pendidikan.

“Dokter Surjit sudah diminta ke Jakarta, tapi kita enggak kasih, karena kita masih butuh beliau di sini,” ungkap Dewi Fauziah Syahnan di Ruang Rapat I.

Surjit hanya tersenyum saat ditanya tentang ‘pinangan’ Kementrian Kesehatan itu. Dia menegaskan belum ada pinangan resmi. “Sampai saat ini belum ada yang menyampaikan langsung ke saya. Namun saya rasa memang masih butuh berada di sini (Pirngadi). Karena nanti kalau saya pergi, siapa yang mengajar para dokter muda ini, Mereka bibit-bibit kita juga,” bebernya tersenyum.

Surjit mengakui, saat ini kebutuhan dokter ahli forensic terus ditingkatkan. Sejalan dengan program pemerintah pusat.  “Pemerintah saat ini telah memiliki program khusus, agar PPDS yang mengikuti forensik di seluruh Indonesia bisa meningkat. Kementrian Pendidikan Nasional menyadari hal itu,” pungkasnya. (nina rialita)

Posted in 1

PSSI oh PSSI

(Teringat kasus lama, thanks to Sumut Pos atas penugasannya. Diterbitkan di Jawa pos dan Sumut Pos, Juni 2007)

Bukan Cari Sensasi

Adalah Sekretaris Umum Penajam Medan Jaya Syawal Rifai yang kali pertama mencuatkan isu suap kepada Togar Manahan Nero (ketua Komdis PSSI) dan Kaharudin Syah (anggota Komite Eksekutif PSSI). Ada apa di balik keberaniannya mengungkap praktek haram in? Berikut wawancara Syawal dengan Nina Rialita dari Sumut Pos (Grup Jawa Pos).

————

 

Apa motivasi Anda mem-blow up kasus ini?

Untuk sepak bola nasional. Kita ingin ke depannya diisi oleh orang-orang yang punya tanggung jawab dan moral terhadap bangsa. Gerbong Nurdin Halid harus diisi dengan orang-orang yang bersih. Karena setiap tahun pasti ada saja masalah.

Adakah orang di balik Anda mengungkapkan kasus ini?

Nggak ada. Cuma insiatif saya saja. Karena kita punya kemauan. Itu saja, tak ada yang lain. Karena kita sudah lama di bola.

Apakah Anda punya masalah pribadi dengan Togar?

Harus ada regenerasi di Komisi Disiplin. Harus diganti, itu keinginan saya pribadi. Karena dia sudah terlalu lama menjabat itu, dari zamannya Agum Gumelar. Apa sengsara dia (Togar) kalau nggak menjabat. Kenapa mesti takut, apa yang kita takutkan? Tekanan? Semua orang tahu gimana Togar. Masalah terima atau tak terima, itu masalah pribadi dia. Soal risiko atau ancaman pasti ada, tapi untuk saat ini belum ada. Saya punya teman-teman wartawan PSSI yang siap membantu.

Anda dibilang cari sensasi mengungkapkan kasus ini, tanggapan Anda?

Sama sekali bukan cari sensasi. Saya sudah bicara dengan Pak Nurdin Halid dan bilang legawa bila Medan Jaya mengundurkan diri. Saya sudah siapkan surat, tapi saya bukan manajemen tertinggi. Jadi, surat itu belum disetujui manajemen. Belum lagi keputusan komdis yang katanya tanggal 12 Juni harus bayar denda. Kalau nggak bayar dapat hukuman tambahan. Kita pun tak tahu apakah hukuman tambahan itu bisa-bisa turun ke divisi tiga. Padahal kami sudah pasrah jika Medan Jaya mundur musim ini dan mempersiapkan tim lebih dulu untuk berikutnya. Tapi, Togar malah buka-bukaan.

Untuk melanjutkan kasus in, apakah Anda punya bukti kuat?

Kita nggak bodoh. Dia punya strategi kita juga punya. Saya punya rekaman omongan Arsiman (Asisten Manajer Medan Jaya Arisman Bermawi, Red) soal pertemuannya dengan Kahar (Kaharudin Syah, Red). Saya juga simpan SMS Arisman soal uang itu. Saya juga punya fotocopy cek senilai Rp100 juta itu. (*)

 

 

Mengurai Isu Suap Medan Jaya

Bisa Lebih Kotor

Sepak bola kembali diguncang isu suap. Yang menghembuskan adalah klub divisi satu Penajam Medan Jaya (PMJ). Mereka mengaku telah menyetor Rp100 juta kepada oknum pengurus PSSI. Bagaimana kasus ini terjadi? Berikut penuturan Sekretaris Umum Medan Jaya Syawal Rifai.

—————–

Semuanya bermula saat workshop di Jakarta bulan Maret 2007 yang Medan Jaya sendiri tak ikut. Di situ dari peserta ada yang komplain, yaitu PSP Padang soal putusan yang diketuk PSSI untuk Medan Jaya yang tetap boleh berlaga di divisi satu setelah WO (walk over) pada tahun 2006. Mereka membandingkan dengan kasus Persebaya yang langsung drop ke divisi satu.

 

Nah, komplain itu dibawa ke komisi disiplin. Kita sebenarnya nggak tahu masalah itu, karena yang mengetuk putusan kan yang tertinggi di PSSI, yakni Nurdin Halid. Ketika sudah diputuskan begitu, kenapa pula harus dibawa lagi ke komisi disiplin. Kita juga tak tahu kenapa Medan Jaya bisa diputuskan berlaga di divisi satu lagi.

Sebenarnya kita sudah pasrah saat Medan Jaya ke divisi dua. Tapi, kita melihat sinyal dari pusat soal Medan Jaya yang bisa bermain lagi di divisi satu musim ini. Makanya kita pun cari investor secara dadakan. Semuanya ini bukan berawal dari saya, tapi dari yayasan karena ada Memorandum of Understanding (MOU) dengan pihak Penajam di Kaltim.

Setelah workshop itu, Yayasan Medan Jaya berkomunikasi dengan Komdis. Saya hubungi Togar (Ketua Komdis PSSI Togar Manahan Nero, Red) akhir Maret via telepon. Minta tolong. Togar bilang: Tenang saja, kalau bisa ditutup dengan ludah, kenapa nggak bisa pake ludah?. Itulah percakapan terakhir.

Setelah itu, Kaharuddin (anggota Komite Eksekutif PSSI Kaharudin Syah, Red) bertanya sebenarnya Medan Jaya milik siapa? Siapa yang bayar? Kemudian Arisman (Asisten Manajer Medan Jaya Arisman Bermawi, Red) bertanya berapa denda yang masuk kantong pribadi.Manajemen Medan Jaya lewat ketua umum Iwan Datuk Adnan akhirnya menyebutkan jumlah Rp100 juta. Lalu jumlah itu disampaikan ke Kaharuddin.

Tanggal 5 April di Hotel Sultan Jakarta, Arisman menghubungi Kahar, menyatakan bahwa uang sudah ada sesuai janji. Di sana kita hanya mau menyerahkan Rp 50 juta. Kahar kemudian telepon Togar. Kata Togar, jangan terima kalau nggak penuh jumlahnya. Akhirnya nggak terjadi transaksi saat itu.

Tanggal 12 April di Hotel Century Jakarta, Arisman menelepon Togar. Togar kemudian mengirimkan sopirnya bernama Andi untuk mengambil uang Rp100 juta itu. Kemudian datanglah Andi dan membawa uang itu. Artinya, suap menyuap ini adalah antara manajemen Medan Jaya dengan Komdis.

Jujur saja, kita sudah diintruksikan untuk tutup mulut. Tidak boleh ngomong kepada siapa saja termasuk media selesai sidang. Tapi, keika Medan Jaya WO lagi pada tanggal 24 April (melawan Persih Tembilahan, Red), Togar malah berkoar.Katanya, Medan Jaya didegradasi dan dikenakan denda Rp50 juta.

Kita sudah ada komitmen tidak ngomong ke media. Tapi, dia yang malah berkoar. Padahal hukuman WO itu belum diterima secara resmi oleh Medan Jaya, tapi sudah di-blow up lewat media. Kita pun emosi dan mengungkapkan masalah ini. Dia buka, kita buka. Dia kotor, kita juga bisa lebih kotor. (nina Rialita)

Posted in 1