Raja Risol

Bisnis kuliner masih menjadi idola pengusaha baru. Beragam jenis makanan dari yang berat hingga ringan memberikan peluang menjanjikan. Bahkan hal inipun berlaku untuk usaha berbasis varian camilan yang lajim ditemui dan jamak adanya, seperti risol. Seperti yang dilakoni empat pemuda di Medan yang tergabung dalam label usaha Raja Risol. Mereka (Azhar Indra Rifangi, Raja Rizky Ramadhan, Tedja Mukti Raharja dan Fauzi Zulmi) mampu mengemas risol menjadi makanan ringan spesial.

Raja Risol Owner (3)-Azhari.jpg:

Risolnya milik Raja Risol memiliki isi keju, sosis juga coklat. Ide ini tercipta sejak 2012, tatkala sedang mengikuti mata kuliah kewirausahaan di Jurusan Ilmu Komputer Universitas Sumatera Utara Jurusan (USU). “Alasan kami memilih usaha risol karena risol merupakan salah satu makanan favorit untuk semua kalangan. Tidak memandang umur dari anak-anak sampai kakek nenek semua orang pasti suka risol. Selain itu, ini diawali saat ada mata kuliah di kampus yaitu kewirausahaan. Kami ditantang untuk membuat tugas presentasi sebuah usaha. Kami buatlah risol dan kami presentasikan ke depan kelas, hasilnya baik. Dari situlah kami melihat ternyata peluang risol sangat besar,” ujar Azhar Indra Rifangi mewakili ketiga kawan lainnya kepada Majalah Pengusaha Indonesia, Maret 2014.

Pemuda kelahiran 21 Januari 1992 ini menambahkan, setelah muncul ide membuat usaha risol, keempatnya sepakat mengeluarkan kocek pribadi sebesar Rp50 ribu perorang. Total Rp200 ribu tersebut dibelikan bahan baku untuk membuat risol. Dengan resep yang dicari dan diramu dari berbagai sumber, risol dibuat. Beberapa percobaan sempat gagal hingga akhirnya mereka menemukan formula terbaik dan resmi Mei 2012 memperkenalkan risolnya Raja Risol ke publik. “Kendala pertama adalah kami harus berjibaku dengan jadwal kuliah, tugas menumpuk dan lainnya. Banyak suka dukanya dan dukanya adalah kami harus terpaksa menunda skripsi. Dari kami berempat dua sudah lulus kuliah, dua lagi masih berjuang,” beber mahasiswa semester akhir ini.

Untuk kali pertama pemasaran dilakukan Azhar dkk melalui perangkat blackberry messanger (BBM), tujuan terdekat adalah kawan kampus dan keluarga. Dari BBM, pemasaran berlanjut dengan twitter, instagram lalu membuka stan di area ramai seperti kampus. Bahkan tak jarang mereka ikut even dan menjajakan risolnya. “Responnya sangat baik, meski harus kerja keras di awal mulai pengenalan produk hingga produk delivery. Tantangan utama tentu harus menanggalkan label mahasiswa dan menjadi penjual risol. Tapi berjalan dengan waktu, dengan semangat kawan-kawan semua kami bisa berjalan dan bertahan hingga saat ini. Apalagi, ternyata konsumen yang menjadi target utama kami memang kawan-kawan mahasiswa. Inilah yang memicu semangat kami tetap ada,” tegasnya.

Satu risolnya Raja Risol dijual dengan harga Rp3 ribu. Seiring dengan waktu, risol yang dijual tak lagi yang siap saji saja. Raja Risol mengeluarkan inovasi dengan menyediakan risol beku, yang bisa digoreng dan disantap di rumah dalam keadaan panas. “Awalnya memang hanya risol goreng di tempat. Lalu kami berpikir, bagaimana caranya konsumen yang mau risol kami dan tetap hangat disantap meski lokasinya ada di mana saja, dan konsumen bisa memakannya kapan saja. Kemudian kami ciptakan risol beku, pelanggan tinggal beli dan goreng sendiri di rumah, jadi bisa tetap fresh,” tuturnya.

Satu risol goreng dihargai Rp3 ribu sedangkan yang beku Rp2800. Kini, dalam seminggunya mereka memproduksi 800 risol dan itu langsung habis. Dalam produksinya, Raja Risol dibantu lima karyawan. “Produksi bisa meningkat seiring permintaan. Kami menjualnya dalam pack bisa juga satuan. Berapapun kami layani, sebab konsumen juga raja. Satu packnya isinya lima risol,” ucapnya.

Azhar mengakui usaha ini sudah mencapai balik modal sejak enam bulan membuka usaha. Dan, kini bisa beromset Rp10juta perbulan. “Dengan usaha ini paling tidak kami bisa membiayai diri sendiri dan soal keuntungan kami bagi rata. Sejauh ini tidak ada masalah soal itu. Kami juga membuka lapangan kerja buat yang baru yang ingin jadi reseller. Dan, untuk reseller kami sebut dengan prajurit risol,” jelasnya.

Dengan tagline “Rasakan sensai kekuasaan raja”, Azhar dkk berharap bisa menjadikan milik mereka menjadi salah satu ikon kuliner Medan. Azhar mengkui, tidak mudah bertahan dengan persaingan bisnis sejenis. Apalagi, di Medan banyak sekali usaha camilan bermunculan. Untuk risol saja, sudah beragam usaha juga dibuka oleh pengusaha muda. “Iya kami paham, tapi sejauh ini kami bersaing secara sehat dengan mengedepakan mutu produk. Yang membedakan risol kami dengan yang lain adalah dari kualitas bahan yang kami gunakan. Juga rasa yang beda dengan yang biasanya, sehingga membuat risol kami tidak cukup dimakan sekali saja,” klaimnya. (nina rialita/Majalah Pengusaha Indonesia)

Raja Risol
Alamat : Jalan Jangka No 28 Medan.
No Kontak : 085270100500

Kele (Keripik Lele)

Packaging atau kemasan suatu produk menjadi nilai tambah terhadap daya tarik konsumen untuk mau merogoh kocek membeli barang. Meskipun, sejatinya produk yang baik adalah cantik di luar juga dibarengi kondisi yang ada di dalamnya. Namun, produk yang eyecatching dapat membantu pemasaran lebih mudah. Inilah yang diyakini Lisma Warni dalam memasarkan produknya yaitu Kele, perpaduan nama dari keripik lele.

Ini adalah olahan ikan lele yang telah diiris kemudian dicampur rempah-rempah serta tepung sehingga sangat renyah layaknya keripik yang biasanya dominan berbahan baku buah. Perempuan berusia 32 tahun ini memasarkan kreasi rumahan ini dikemas dalam kaleng ukuran 75 gram. Di dalam kaleng juga dilapisi alumunium foil. Tidak sampai di situ saja, warna merah jambu menyala pada desain kaleng membuat keripik ini memiliki level dan standar tersendiri di mata konsumen.

Lisma memproduksi Kele sejak satu tahun yang lalu. Diakuinya pemilihan bahan baku ikan lele tidak mudah begitu saja. Lisma sempat menggunakan ikan tuna, ikan hiu dan ikan pari, namun dari sisi rasa tidaklah senikmat lele. “Sebelum dipasarkan, pada awalnya saya gunakan ikan tuna, hiu bahkan pari, lalu lele. Dari semua ikan tersebut, lele yang rasanya nikmat dijadikan keripik. Terlebih saya juga suka lele dan dari segi nilai ekonomis, lele harganya relatif standar, murah dan jarang sekali harga lele naik,” ujarnya kepada Majalah Inspirasi Usaha.

Ketertarikannya membuat keripik lele, lantaran belum ada usaha sejenis di Medan. Dia memulai dari nol dengan cara otodidak dari keahlian memasak selama ini. Bisnis ini merupakan usaha kesekian yang dilakoninya setelah butik, rumah makan, dan bakso. Dia pun memutuskan membuat inovasi dan serius di usaha kuliner kele ini. Pada awalnya, bermodal uang Rp50 ribu dia membeli dua kilo lele dan beserta bumbu. Lalu membuat tester ke orang-orang terdekat dengan kemasan yang masih berupa plastik. Dari teman dan keluarga semua memberikan respon positif. “Saya menggunakan lele, bumbu dapur seperti lada, ketumbar lalu tepung dan telur tanpa pengawet dan MSG. Ada teman yang sangat baik mau membantu saya menyebarkan tester dari yang sangat suka lele hingga yang sama sekali enggak suka lele. Ternyata respon nya bagus dan memnbuat saya semangat,” ungkapnya.

Nina-Keripik Lele (7)

Sulung dari tiga bersaudara ini kemudian berpikir bagaimana keripik yang selama ini dijual dengan kemasan plastik bisa ‘naik kelas’. Lalu, muncul ide bagaimana menemukan kemasan yang mampu menahan keripik lele ini dalam jangka waktu yang lama. Tercetuslah kaleng, ini juga dilatarbelakangi pangsa pasar targetnya yaitu konsumen menengah ke atas. “Satu kaleng beratnya 75 gram dengan isi bersih 50 gram. Kalau dengan kemasan plastik dijual Rp15 ribu orang mungkin mikir, tapi kalau kaleng begini orang pasti mau, karena kemasannya tidak sembarang,” bebernya. Dengan kaleng, kele bisa bertahan hingga satu tahun karena kalengnya bertutup rapat.

Produksi awal dari teman ke teman hanya lima kilo seminggu, namun kini sudah 30 kilo dalam seminggu dengan rata-rata kebutuhan tepung hanya 10 kilo. Saat ini, dengan dibantu dua karyawan dan omset Rp20 juta, produknya sudah sampai luar kota, hingga Surabaya, Jakarta. Lisma cukup terbantu memiliki teman yang bekerja di travel dan mau ikut memperkenalkan produknya. “Saat ini dari teman ke teman, via online juga telepon langsung. Sedangkan untuk toko retail belum saya masukkan karena mereka menganut sistem barang diletak dulu baru bayar belakangan, sementara pelaku UKM seperti saya butuh memutar modal. Jadi, saya belum pasarkan ke retail, saya bentuk pasar sendiri, ” jelasnya.

Pun demikian, untuk memiliki kemasan yang apik, Lisma terpaksa memesan dari Jakarta. Menurutnya, di Medan kemasan kaleng yang bagus belum ada. Yang tersedia di Medan hanyalah kemasan kotak dan plastik.

Selain itu, Lisma punya keinginan kelak akan ada pelaku usaha keripik ikan sepertinya di Medan. Satu sisi, berbisnis tanpa rivalitas menguntungkan, namun di sisi lain Lisma butuh rival sebagai pembanding. “Jujur diakui sulit mengenalkan Kele ini, beda dengan keripik buah semisal pisang yang sejak jaman dahulu rasanya sudah sangat dikenal masyarakat. Sedangkan, banyak orang yang belum melihat keripik lele. Ibaratnya, kalau saya enggak kasih tester ke orang saat memasarkan, maka konsumen seperti beli kucing dalam karung. Orang lihat dari packagingnya yang tertutup rapat. Kalau ada pesaing di Medan, saya enggak begitu sulit lagi memperkenalkan keripik ikan,” paparnya.

Seperti tekatnya yang bulat di usaha ini, Lisma tetap yakin. “Untuk itu saya ingin berinovasi sembari terus memasarkan produk ini agar makin dikenal publik. Dalam target saya ingin membuat keripik belut, mudah-mudahan bisa selaku lele,” pungkasnya. (nina rialita)

Kele
Owner : Lisma Warni
Alamat : Jalan Mangaan 5, Kelurahan Mabar, Kecamatan Medan Deli.
Nomor Telepon : 085371229440

Kios Cemilan Asahan

Tidak selamanya kuliner tradisional identik dengan kuno. Saat ini, makanan yang biasanya hanya dijumpai di pedalaman suatu daerah bisa unjuk gigi dan go international. Inilah yang dirintis Sury Ramadhani Syamsuddin Putri, seorang mahasiswi jurusan ekonomi Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) dengan menaikkan pamor camilan khas daerah kelahirannya, Kisaran. Kelanting, begitu jajanan ini dinamakan. Terbuat dari ubi yang berbentuk seperti angka delapan. Di daerah provinsi lain sejatinya ada juga camilan menyerupai ini, dan di Sumatera Utara, panganan ini sudah sangat dikenal.

​Gadis kelahiran 26 Februari 1993 ini membuka usaha ini sejak 10 November 2013 dengan nama Kios Cemilan Asahan. Dia menyebutnya, kios ini menjadi media memasarkan panganan asli buatan tangan warga Asahan, seperti dianya dan keluarga. Ini bukan usaha pertamanya, Yuri-sapaan akrabnya lebih dulu merambah bisnis fashion. Namun ada dorongan kuat untuk menambah usaha lain di bidang kuliner. “Lalu tercetuslah usaha ini, memang saya tidak usaha sendiri di awal usaha. Ada keluarga terutama orangtua yang mendukung, baik dalam penyediaan bahan baku, pembuatan dan pemasaran,” ujarnya kepada Majalah Inspirasi Usaha.

Kelanting Asahan-Produk-Produk (4)

Modal pertama kali memulai usaha ini hanya Rp500 ribu. Ini digunakan untuk membeli bahan bakunya yaitu ubi kayu atau singkong dan keperluan packing. Sedangkan, resepnya masih asli dari leluhur. “Kendala di awal adalah pemilihan bahan baku yang bagus. Karena, orang kenal kelanting itu sebagai camilan yang enak tapi keras. Makanya, mencari bahan baku yang tepat dengan kualitas ubi kayu yang baik sangat kami perhatikan. Memang susah gampang mencari ubi kayu yang punya tekstur baik. Ini demi mengubah mindset masyarakat tentang kelanting. Bahwa, bisa tetap enak dan nyaman dikunyah,” lanjutnya.

Kelanting Asahan-Produk-Produk (8)

Dengan pengerjaan yang masih tradisional, produksi awal belum terlalu banyak. Tapi, Yuri kian semangat lantaran pelanggan pertamanya saat itu yaitu pamannya mengakui kelanting yang diproduksi enak. Sang paman langsung memborong sepuluh bungkus. “Saat itu senang sekali, dan Yuri semakin semangat dan kemudian langsung promosi dari mulut ke mulut sambil berdoa agar diberikan kelancaran,” timpalnya.

Yuri pun tak menyiakan fungsi media sosial. Sebagai anak kuliahan, dia langsung memanfaatkan akun twitter, instagram, serta facebook untuk jualan saat launching produk 10 November. Hasilnya, perlahan permintaan kelanting terus naik dan bahkan dikenal hinga Singapura dan Thailand. Selain itu, dia juga membuka peluang bagi kawan kampusnya untuk menjadi reseller. Yuri memperkenalkan kelanting dengan tujuh varian rasa, yakni original, ayam bawang, barbeque, balado, pedas manis, jagung manis dan jagung bakar dengan harga Rp12 ribu untuk ukuran 250 gram. Kini, dalam seminggunya bisa terjual hingga 50 Kg kelanting. Selain kelanting, di Kios Cemilan Asahan ini, Yuri juga menjual kudapan tradiosional lain yaitu untir-untir dengan harga Rp13 ribu per 250 gram.

Dari pemasaran yang getol via akun media sosial, Yuri mengaku usahanya sudah pada tahap break even point alias balik modal dan bahkan untung. Namun, dia menyadari harus tetap berinovasi agar camilan ini tidak tergerus persaingan pasar. Kini, Yuri dibantu dua orang dalam proses produksi, sedangkan pemasaran masih mengandalkan dirinya sendiri. “Kualitas produk menjadi fokus saya, karena saya target saya kelanting harus bisa benar-benar go international. Saat ini, pelanggan yang di luar negeri adalah konsumen lokal yang kebetulan ada di luar negeri. Saya targetkan, kelanting bisa diekspor ke luar negeri, paling tidak ada di toko-toko negara tetangga,” tuturnya.

Kelanting sendiri bisa bertahan satu bulan. Yuri berharap kelanting bisa dinikmati semua kalangan karena harga kelanting menurutnya masih nyaman di kantong, apalagi mayoritas konsumennya adalah anak muda. Untuk itu, Yuri bekerja sama dengan toko kue dekat kampusnya untuk menjajakan kelanting. Sementara ini kerja sama dengan Nazwa Bakery di Jalan Muchtar Basri depan kampus UMSU. Kelanting juga sudah masuk di salah satu toko oleh-oleh khas Sumatera Utara, Toko Nusantara di Jalan Amir Hamzah No 17, Medan. “Kalau soal harga saya masih menyesuaikan dengan kantong mahasiswa..maklum toke nya sendiri masih mahasiswa,” ujarnya mahasiswi berusia 21 tahun ini.

Kelanting Asahan-Yuri-Owner (2)

Meski disibukkan dengan jadwal perkuliahan, Yuri yakin pilihannya menjadi pengusaha muda. Ini tak terlepas dari pikirannya yang tak ingin lagi dibuat bingung ketika tamat kuliah dengan pertanyaan mau kerja di mana. “Saya selalu berpikir apa yang akan dilakukan nantinya jika sarjana dan menyandang S1? Sedangkan sekarang mencari kerja itu susah kalau kita tidak punya keterampilan. Jika selama ini banyak orangtua bertanya setelah si anak menjadi sarjana, perusahaan atau instansi mana yang sudah kamu masukan lamaran kerja, nak? Maka kata kata tersebut akan saya ganti menjadi lapangan kerja apa yang sudah kamu ciptakan, nak? Selain mengurangi pengangguran, saya yakin seorang wirausaha adalah pekerjaan yang penuh tantangan dan kreativitas, karena harus berpikir berpikir untuk menciptakan inovasi baru. Mudah-mudahan terus diberikan kelancaran menjalankan usaha dan mengikuti jadwal kuliah,” paparnya. (nina rialita/terbit di Majalah Inspirasi Usaha Makassar, edisi April 2014)

Kelanting/Kios Cemilan Asahan
Owner : Sury Ramadhani Syamsuddin Putri
Alamat Usaha : Jalan Seriti 2 No 24D, Gambir Baru, Kisaran Timur, Kabupaten, Sumatera Utara
Instagram : @kioscemilan_asahan
Twitter :@kios_asahan
Akun sosial : media jualan
No hp : 0812 62936063

Risolasol

Acapkali bisnis sukses berawal dari hobi dan kegemaran terhadap sesuatu. Mirza Irfan Sumantri satu diantaranya, sang owner Risolasol. Pemuda kelahiran Medan 19 Oktober 1988 ini mampu meraup keuntungan dalam usaha makanan yang sudah sangat dikenal seantero Indonesia, yaitu risol. Dia mengubah risol yang biasanya hanya bisa dibeli dalam keadaan panas dan siap santap menjadi bisa dibeli dalam kondisi mentah dan konsumen bisa menggoreng kapanpun momennnya.

Reza-sapaan akrabnya, memulai usaha ini sejak tahun 2009, tepatnya saat masih duduk di bangku perkuliahan semester tiga fakultas ekonomi di sebuah universitas di Medan dengan modal Rp100 ribu. Dia mengakui sangat menyukai risol, bahkan seluruh keluarganya begitu. Ini juga yang mengilhaminya untuk berani bersaing di bisnis kuliner yang sangat pesat di Medan dan banting setir dari pekerjaannya dahulu di airlines dan travel. “Karena batin saya tidak puas dengan yang saya dapat setiap bulan, saya memutuskan buka usaha sendiri. Pilihannya jatuh ke risol, karena makanan itu memang kesukaan saya,” ujarnya kepada Majalah Inspirasi Usaha.

Risolasol-4

Bermodalkan Rp100 ribu dari sisa gaji pascaberhenti kerja, Reza mulai mencari resep membuat risol terbaik dari buku resep yang ada di toko buku hingga google. “Uang seratus ribu tersebut, Rp50 ribunya saya gunakan untuk ongkos ke toko buku dan sisanya saya gunakan untuk membeli bahan baku. Setelah dapat banyak referensi lalu saya kombinasikan dan mendapatkan risol terbaik, saya uji dengan memberikan tester kepada teman-teman yang saya rasa lidahnya teruji. Alhamdulilahnya, mereka semua bilang enak,” kenangnya.

Kemudian, Reza beranikan diri menjual risol ke khalayak ramai. Dengan modal pas-pasan, dia pun hanya punya satu pilihan dengan memasarkannya sendiri tanpa bantuan orang lain. Dia memulai dari lingkungan terdekatnya di kampus hingga rumah sakit umum. Reza harus kerja keras karena respon di awal para konsumen adalah menolak, lantaran risol buatannya terbilang mahal, karena dijual Rp5 ribu untuk dua potong. “Tapi saya tetap semangat, karena didorong juga kebutuhan harus punya uang untuk bulan depannya bayar uang kuliah,” tegasnya.

Risolasol-owner-Rizal Sumantri

Konsumen yang awalnya menolak mulai luluh, mendapati Reza yang memastikan risol buatannya bukan risol biasa. Dalam risol buatannya berisi ayam suir yang nikmat, juga berisi sosis keju mozarella serta ada juga sejenis risol yaitu lumpia pisang coklat. Lama kelamaan pelanggan yang sudah tahu rasanya, makin penasaran dan ketagihan. “Dan alhamdulillahnya ada saja jalannya. Di rumah sakit umum saja, di tiga bulan pertama omset per hari mencapai satu juta dengan waktu tiga jam jualan,” ungkapnya.

Mulai percaya diri dengan produk yang dijual, Reza merambah media sosial melalui online fanpage, twitter, instagram dan dalam proses pembuatan website. Dengan ini, Risolasol kemudian punya konsumen di luar daerah dan luar provinsi. Di luar daerah memilih risol beku alias frozen yang bisa bertahan selama satu bulan tanpa bahan pengawet. Seperti di daerah Aceh, Pekanbaru, Riau, Jambi, Jakarta, Bandung juga Malang.

Risolasol-9

Berjalan dengan waktu, Reza yang dulunya kerja sendiri, mulai kewalahan dan merekruit sepuluh karyawan untuk membantunya. Apalagi, risolasol sudah memiliki enam outlet di Medan dengan sistem franchise. Kini, Reza bisa menjual 1000 risol dalam sehari dengan omset rata-rata Rp80 juta. “Dengan pemasaran menyebar seperti franchise dan dengan media sosial, alhamdulillahnya risolasol bisa dinikmati semua kalangan dari orang tua hingga anak-anak,” bebernya.

Konsumennya pun tetap setia meski ada kenaikan harga dari awal berdiri seiring kenaikan harga bahan baku. Seperti risol dijual Rp3 ribu per satuannya dan Rp20 ribu/pack untuk yang beku. Risol sosis dengan Rp5 ribu perpotong dan Rp30 ribu/pack untuk risol bekunya, dan lumpia banan coklat dengan Rp5 ribu per satuannya. “Ke depannya, strategi saya ingin memasarkan risol frozen (mentah) ke ritel atau pasar moderen seperti supermarket yang tersebar di seluruh Indonesia.‎ Juga, ​membuat kafe yang menunya menonjolkan risol sebagai menjadi menu utamanya,” pungkas pengusaha yang ikut dalam ajang Medan Youth Enterpreneur 2014 ini. (nina rialita/terbit di Majalah Inspirasi Usaha Makassar edisi April 2014)

Risolasol
Owner : Mirza Irfan Sumantri
Alamat : Jalan Teratai No 33, Medan
Nomor HP : 085275423469 / 08116191088
Facebook : Risolasol
Pin BB : 74D611E2

Teri Bajak Medan

Menyebut daftar oleh-oleh pelancong saat menginjakkan kaki ke Medan, ikan teri satu diantara pilihan wisatawan. Ikan berukuran kecil yang dihasilkan dari laut daerah Sumatera utara ini, dikenal sebagai ikon Kota Medan yang tak terbantahkan. Namun, tak banyak yang menjadikan panganan berbahan baku ikan teri ini sebagai usaha, sebab biasanya ikan teri dibeli dan dijajakan dalam bentuk mentah kepada pembeli.

foto : dokumen Windi

foto : dokumen Windi

Nah, Windi Septia Dewi mulai menjajaki peluang usaha kuliner teri yang berhiaskan bumbu sambal menggugah selera lalu dikemas apik. Bisnis perempuan kelahiran 29 September 1991 ini dinamainya Teri Bajak Medan yang dibukanya sejak 17 Juni 2013. Windi-demikian sapaan akrabnya, memang telah lama punya rencana ingin memiliki usaha, namun keinginan tersebut masih ragu direalisasikan. Apalagi, sejatinya orangtuanya mendukung Windi bekerja sebagai PNS agar kehidupan terjamin dengan gaji yang jelas setiap bulan. Tekad menjadi pengusaha sudah terpatri, apalagi Windi tergugah saat membaca sebuah buku yang bernuansa religi. “Dalam buku tersebut, dituliskan Allah menjanjikan sepuluh pintu rezeki dan sembilan itu untuk pengusaha. Bahkan Nabi Muhammad pun seorang pengusaha. Nah, dari situ Windi tambah yakin dan ingin mengubah mindset banyak orang, kalau sukses itu enggak hanya ditentukan dari jadi PNS atau enggak,” ujarnya kepada Majalah Inspirasi Usaha, 13 Februari 2013.

Hal tersebut baru bisa diwujudkan saat Windi yang punya kegiatan nge-MC bertemu teman-temannya dari luar Medan selalu bertanya padanya dimana lokasi membeli teri Medan. “Saya enggak terbiasa kerja dengan jam kerja yang ditentukan, memang dari dulu mau buat usaha. Sampai akhirnya beberapa kali nge-MC, ada teman-teman EO dari Jakarta sering nanya soal teri Medan. Lalu, saya kepikiran, kenapa enggak jualan teri saja. Teri sudah dikenal banyak orang Indonesia, tapi belum ada yang mengangkat nama teri ke permukaan sebagai panganan jadi
Dari situlah mulai bisnis teri sebagai oleh-oleh Medan ini,” paparnya.

Langkah awal, Windi mengeluarkan modal Rp500 ribu untuk belanja bahan baku teri dan bumbu. Tahapannya, Windi dibantu oleh sang ibu yang memang pintar masak. Ibunda yang bersuku batak (Masrukiah Simanjuntak) dan lihai meramu sambal yahud menjadi keunggulan produk ini. “Mama yang bantu, bumbunya mama juga yang buat. Untuk menguatkan rasa, kami menggunakan daun bawang batak sehingga sambal terinya lebih khas. Ini produk sehat, kami tidak menggunakan pengawet dan tahan teri sambal ini tahan sampai satu bulan,” timpalnya.

Setelah teri digoreng, dicampur sambal kemudian dikemas dalam bungkus plastik. Windi menggunakan logo yang menarik dipandang mata dan menggugah selera. Ada empat jenis teri dan sambal yang ditawarkan, teri Medan sambel merah/rawit ukuran 150 gram dengan harga Rp30 ribu, teri Medan kacang sambal merah/rawit dengan 150 gram Rp30 ribu, teri belah sambel merah/rawit 150 gram Rp30 ribu dan teri belah kacang sambal merah/rawit 150 gram Rp30 ribu. Teri Bajak Medan juga menyediakan teri mentah, dengan harga Rp25 ribu untuk 200 gram, atau ukuran lain 500 gram dengan Rp60 ribu dan Rp110 ribu untuk ukuran 1 kilo.

Semula pemasarannya masih murni mengandalkan online, twitter dan instagram, line, BBM juga blog. Tapi sekarang seiring dengan waktu, Teri Bajak Medan sudah bisa ditemukan di toko oleh-oleh Aroma Bakery Jalan SM Raja Medan dan juga pusat oleh-oleh Nusantara Jalan T Amir Hamzah No 17. “Semua orang tahu pemasaran via online enggak banyak biaya tapi bisa menjangkau sampai luar negeri. Tapi ya alhamdulillahnya sekarang juga sudah bisa melebarkan sayap, produk Windi sudah bisa ditemukan di pusat jajanan oleh-oleh Medan,” ucapnya.

foto : dokumen Windi

foto : dokumen Windi

Windi mengakui tidak terlalu sulit menjual Teri Bajak Medan, selain teri memang enak dan sudah dikenal, sambal spesial, nama produknya juga unik dan memantik reaksi ingin tahu pembeli. Penambahan kata Bajak di tengah, sebenarnya diilhami dari lokasi makanan ini diproduksi. Di Medan, ada sebuah lokasi di kawasan Kecamatan Medan Amplas, di mana nama Jalannya dihiasi dengan kata Bajak. Windi dan keluarganya sendiri tinggal di Bajak V. “Awalnya banyak nama-nama yang jadi kandidat. Tapi saking banyaknya jadi bingung. Karena nama yang kepikiran ribet semua, sampai saat jalan pulang ke rumah masih sambil mikir. Terbaca alamat rumah Jalan Bajak V. Akhirnya jadi TERI BAJAK. Biar cepat jualannya. Terus, kalau sekarang sih saya bilang Teri Bajak akan membajak lidah Indonesia,” ungkapnya sambil tersenyum.

Lantaran terbilang masih baru, Windi belum produksi dalam jumlah banyak. Dalam seminggu ada tiga sampai empat kali produksi dan dibantu dua pegawai. Dengan bahan baku yang masih didapat dari pasar tradisional, sekali produksi bisa menghabiskan 20 kilo teri. Dalam sebulan bisa laku terjual 600 bungkus dengan omset belasan juta. Urusan pelanggan, Windi mengatakan Teri Bajak Medan sudah dinikmati oleh konsumen dari Jakarta, Bandung, Jogja, Papua dan ada juga konsumen yang keluar negeri ke Australia, Makkah dan Paris yang memesan terinya

Teri Bajak Medan-Owner-Windi (1)

Untuk tetap bertahan, Windi mengaku terus berinovasi. Produknya juga dalam waktu dekat akan bertambah variannya. “Produk awal hanya teri sambal, teri mentah, sekarang sudah ada kue bawang teri. InsyaAllah bentar lagi launching sambal durian teri. Target ke depan, saya ingin terus memperkenalkan Teri Bajak Medan sebagai oleh-oleh khas Medan, agar setiap yang ke Medan ya ingatnya ini, dan enggak hanya berpatokan ke bika ambon saja. Mudah-mudahan di sisi lain, anak muda yang seusia saya bisa termotivasi juga untuk punya usaha juga,” pungkasnya. (nina rialita/terbit di Majalah Inspirasi Usaha edisi Maret 2014)

Teri Bajak Medan
Owner : Windi Septia Dewi
Alamat : Jalan Bajak V, Kecamatan Medan Amplas, Medan-Sumatera Utara
Telepon/SMS : 08116155866
Line : teribajak
PIN : 754233C9

Fresh Parfum-Abdul Rizal Saragih

Saat ini, jiwa-jiwa muda tak lagi canggung untuk memulai usaha. Banyak bisnis yang lancar dijalankan di tengah kesibukan kuliah. Satu diantaranya Abdul Rizal Saragih. Pria kelahiran 24 September 1989 ini bisa dikatakan sukses membangun Fresh Parfum, yang sudah gelutinya sejak Maret 2013.

Abdul-sapaan akrabnya, mengaku sedari dulu memang melakoni pekerjaan di tengah padatnya jadwal perkuliahan di Sekolah Tinggi Agama Islam Sumatera (STAIS). Dia ingin mandiri dan berusaha membiayai keperluan kuliahnya. Dia menyebut aktivitasnya saat itu dengan istilah three in one (3 in 1). Namun siapa sangka yang awalnya berstatus karyawan sebuah perusahaan swasta call center ini, kini sudah menyandang jabatan bos. “November 2012, saya mulai menjualkan parfum punya teman, kemudian saya pasarkan di kantor tempat saya bekerja dengan sistem konsinyasi yaitu setiap gajian baru saya setor. Jadi sambil bekerja saya juga menjual parfum,” ujarnya kepada Majalah Inspirasi Usaha, akhir Desember 2012.

Fresh Parfume (2)

Mahasiswa Jurusan Pendidikan Agama Islam yang sedang mempersiapkan menuju sidang meja hijau ini mendapati fakta, bahwa parfum yang dijajakannya punya pasar menjanjikan. Berbekal ‘curi’ ilmu dari rekannya pemilik toko parfum, Abdul kemudian meracik formula sendiri dan memberanikan diri membuka toko di kawasan Jalan Alfalah dekat kampus Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) Medan. “Saya sering melihat teman yang buka toko saat dia meracik parfum, saya perhatikan, saya tanya-tanya bagaimana meraciknya, akhirnya saya bisa sendiri,” timpalnya.

Dia tidak sembarang buka usaha. Berbekal modal Rp30 juta yang didapat dari tabungan selama bekerja dan kredit baru bank senilai Rp15 juta, Abdul memastikan pilihannya di ranah bisnis harum semerbak ini. “Modal awal tidak sulit, karena ketika saya masih bekerja saya rajin menabung dan sebagian lagi saya pinjam ke bank. Saya di usaha ini, karena saya pahami dan mudah untuk dijalani, prospeknya juga bagus untuk jangka panjang. Apalagi, bisa dijual dengan yang dapat dijangkau oleh semua kalangan,” ungkapnya.

Toko yang berada di kawasan kampus memudahkan Abdul dengan mudah memperkenalkan produknya. Alhasil, pelanggan terbanyaknya adalah kalangan mahasiswa dan mahasiswi UMSU. Meski begitu, parfumnya juga dipasarkan di perkantoran, karyawan pabrik, sekolah dan masyarakat umum. Dan, tak menunggu waktu lama untuk balik modal hanya kurang lebih empat bulan, dia tak lagi berjibaku dengan kredit pinjaman bank dan tabungannya kembali. “Bisnis ini berkembang pesat, dan saya harus fokus dengan toko saya hingga akhirnya saya mengundurkan diri dari pekerjaan saya, apalagi sedang mempersiapkan bahan-bahan menuju skripsi,” jelasnya.

Abdul Rizal Saragih__Fresh Parfum umsu & teladan 085261345268(1)

Harga parfum yang ditawarkan Abdul memang nyaman di kantong mahasiswa, apalagi masyarakat umum dengan rata-rata Rp2000-Rp3000 per cc. Dia menjual dua jenis parfum yang non alkohol dan yang alkohol. Untuk pria ada 212 Man, Aigner Blue Emotiom, Hugo Bos Orange, Dunhil Blue, Aigner Black, Aqua Man dan lainnya. Sedangkan untuk perempuan ada Diamor Women, Britney Fantasi, Anasui Flaig of Fancy, Avril Forbiden Rose, Aigner Too Feminim, Vanilla Body Shop, Harajuku dan lainnya.

Kemudian, enam bulan setelah buka toko di kawasan UMSU, Abdul lantas membuka cabang lainnya di Pasar Teladan (Pastel) pada September 2013. Tingkat penjualan di toko pusat dengan cabang berjalan hampir sama, dengan rata-rata omset per hari Rp500 ribu per toko atau rata-rata Rp30 juta untuk dua toko perbulan. “Alhamdulillah bisa buka cabang dan bisa menggaji karyawan dan untuk keperluan lainnya,” ucap pria berkacamata ini.

Namun, dia menyadari suatu usaha tidak akan selamanya berjalan mulus, jika tidak memperbaiki mutu produk. Terlebih, pesaing sangat banyak di Medan. Di kawasan kampus-kampus di Medan sudah banyak usaha sejenis. “Iya, lagi booming usaha parfum. Makanya, saya akan terus menjaga kualitas, mematok harga terjangkau, melengkapi aroma parfum, transfaran dan jujur dalam menimbang parfum, tata toko yang cerah dan enak dipandang mata, lalu pelayanan baik ke pelanggan sebagai strategi marketting yang bagus,” paparnya.

Dengan satu cabang, Abdul masih punya target menambahnya. “Target ke depan memiliki sepuluh toko Fresh Parfum di Medan dan satu master toko atau gudang dan ingin menciptakan sistem waralaba, agar Fresh Parfum bisa mempunyai ribuan toko di seluruh Indonesia. Ini agar mampu menampung ribuan karyawan sehingga dapat meminimalisir tingkat pengangguran di Indonesia,” pungkasnya.(nina rialita)

Fresh Parfum
Owner : Abdul Rizal Saragih
Alamat Usaha : Jalan Alfalah Raya No 10, Depan Kampus UMSU Medan
Cabang : Pasar Teladan (Pastel) No. A 15 Medan
Nomor Telepon : 085261345268

Roemah Spocut-Sepatu Lukis

Karya lukis tidak lagi monoton sebatas di atas kanvas. Tarikan kuas yang dibahasi cat beraneka warna bisa diaplikasilkan di media sepatu. Hasil jadinya membuat benda penutup kaki ini tampil lebih fashionable dan enak dipandang mata. Konsumenpun dimanjakan dengan berbagai lukisan karakter pilihan sendiri serta lukisan lainnya yang disenangi.

400859_2390211730085_2112997374_n

rs_972

Inilah yang menginspirasi seorang Tary Suwarno untuk memulai usaha yang diberinya nama Roemah Spocut empat tahun lalu. Perempuan berusia 24 tahun ini mengaku menjatuhkan pilihannya di bidang ini, lantaran belum banyak pesaing dan terkesan unik. Berbekal kemampuan melukis yang sudah ada sejak kecil secara otodidak, Tary mulai menata lukisan karakter. Empat tahun lalu, saat tokoh kartun booming, Tary mulai melukis tokoh kartun di sepatu yang dijajakannya.

trAY

Soal modal awal, Tary memang enggan merinci. Menurutnya, tak banyak yang harus keluar di tahap mula, karena hanya membutuhkan beberapa pasang sepatu unutk contoh ke konsumen. Selebihnya, dia memilih untuk menjajakan dengan sistem online. Dimana, konsumen yang mau beli harus pesan dengan pembayaran penuh, baru dikerjakan. “Bisa dibilang tidak terbentur biaya saat memulainya. Karena dari awal konsep kami hanya jual secara online, jadi tidak butuh untuk sewa toko display. Memang sempat menawarkan dengan sistem door to door, dari tetangga ke tetangga, sekolah ke sekolah, kampus ke kampus, dan terakhir melalui media online via website,” paparnya kepada Majalah Inspirasi Usaha, awal Januari 2014.

tary-1

Di kediamannya di kawasan Radio Dalam, Jakarta Selatan, sepatu-sepatu Roemah Spocut diproduksi. Di sini, pesanan dikerjakan mulai Senin hingga Sabtu bersama lima karyawan lainnya. Tidak lagi hanya sebatas tokoh kartun, Roemah Spocut memberikan keleluasaan kepada konsumen untuk memesan berbagai motif lukisan. “Baik yang sedang tren, motif retro, penyanyi idola, atau yang lebih girly,” tambahnya.

TARY-4

Dengan sistem online, Tary memang harus tegas terhadap konsumen. Pihaknya hanya akan memproses sepatu setelah menerima konfirmasi pembayaran. Untuk pengerjaan satu pasang sepatu sekira sembilan hari. Untuk harga dibanderol mulai Rp80 ribu sampai Rp150 ribuan di luar ongkos kirim. Harga sepatu bisa berubah (naik), jika konsumen menginginkan lebih misalnya ada penambahan tali sepatu berwarna, penggunaan vernis, glitter, model sepatu atau tingkat kerumitan desain. Untul penambahan tali sepatu warna akan dikenakan tambahan Rp3 ribu per pasang, vernis Rp5 ribu per pasang dan glitter Rp5 ribu per pasang. “Kalau untuk warna sesuka pemesan saja,” ujarnya.

tary-3

Usaha yang disebutnya masih berskala kecil ini, dalam sebulannya menerima pesanan 200-250 pasang sepatu dari seluruh Indonesia. dengan omset Rp15 juta hingga Rp17 juta sebulan. Di mana, pangsa pasarnya mayoritas remaja dengan usia 15 tahun yakni di bangku sekolah menengah pertama (SMP). “Tapi tidak menutup kemungkinan untuk anak-anak di usia di bawah atau di atas itu (15 tahun) atau bahkan ada orang tua,” ujarnya.

Namanya usaha, Tary juga mengungkapkan suka duka bisnisnya. Sejatinya untuk bahan baku sepatu polos tidak sulit didapat, dia membeli sepatu-sepatu lokal berwarna dasar putih di Jakarta. Namun, soal motif dan hasil jadi pernah dikritik konsumennya. “Kalau cuma tanya-tanya enggak jadi beli itu sudah biasa ya namanya jualan. Tapi, ada juga yang komplain bahwa barangnya tidak sesuai pesanan bahkan duit yang sudah ditransfer kami kembalikan. Bahkan, ada juga yang pesan barang sudah sampai tapi tidak dibayar, makanya sekarang kami harus tegas harus dibayar penuh. Karena memang bisnis online seperti ini selain juga produk juga jual kepercayaan,” tukasnya.

tary

Tary menambahkan Roemah Spocut adalah lahan bisnis yang akan tetap dijaga dengan baik. Dengan harapan bisa konsisten dan eksis di tengah persaingan bisnis yang ketat. “Oleh karenanya, kami terus meng-update pengetahuan tentang motif-motif terbaru terus inovatif, menjaga harga dan kualitas yang kompetitif,” bebernya.

Soal target, dirinya meyakinkan tetap menjalankan bisnis ini dengan sistem online. “Tetap mengutamakan online ya kemudian ingin mengembangkan usaha menjadi bisnis frainchise, dan tentunya menambahkan jumlah karyawan,” ucapnya. (nina rialita)

Roemah Spocut
Nama : Tary Suwarno
Alamat : Jalan Radio Dalam, Jakarta Selatan
Nomor Telepon : 0857 787 501 97
Pin BB : 329DFB6D
Website : http://www.roemahspocut.com

Tas Kerajinan Fatma

Jika Anda belanja ke pasar akan menemui tas-tas yang dijual murah dengan desain yang sejatinya apik. Bisa jadi, tas tersebut hasil karya dari usaha rumahan. Seperti yang dilakoni Fatmawati, perempuan berusia 41 tahun bersama suaminya Ali Nasir Caniago (41 tahun). Tas buatan keduanya yang diproduksi di kediamannya Jalan Bajak IV, Gang Perjuangan 1, Kecamatan Medan Amplas ini tidak hanya menjadi langganan pedagang tas, tapi sudah merambah pasar luar provinsi bahkan acap kali menerima pesanan khusus dari instansi dan acara kepartaian.

Saat ditemui di rumahnya, Fatma menuturkan usaha Tas Kerajinan Fatma sudah dimulai lima tahun lalu dengan sangat sederhana dengan bermodalkan Rp500 ribu. Uang senilai itu, dibelikan mesin jahit kecil dan bahan-bahan baku. Fatma beruntung memiliki suami yang punya keahlian menjahit yang diterimanya dari kursus dan berhasil mentransfer ilmunya ke Fatma. Ali Nasir mengambil peran menjahit pola yang sudah dibentuk oleh sang istri dengan mesin jahit model lama. Semua masih dikerjakan dengan sangat manual.

Kerajinan Fatma (2)

Tas Kerajinan Fatma ini mulai dari tas kantor, sekolah, modis dan lainnya dengan bahan beraneka ragam, seperti metalic, kain ulos, kain lupin. Saat diperkenalkan ke publik, pasangan suam istri ini mengalami kendala, dan kadang terpaksa harus mengutang ke orang lain. “Kami pasarkan sampai ke Siantar (kota di Sumut). Awalnya laku hanya dua, kadang ngutang sebelum dapat langganan. Dan produksinya masih sanggup hanya dua lusin tas” ujarnya.

Kondisi seperti itu, mulai membaik setaun kemudian. Langganan mulai tertarik dengan hasil karya Fatma. Dari mulut ke mulut, tas Fatma mulai dikenal. Fatma sudah merasakan balik modal dan keuntungan bertahap. Dari keuntungan tersebut, Fatma dan suami membeli mesin jahit tambahan. “Lama-lama banyak orang instansi dan dinas tahu tas saya akhirnya mereka memesan. Begitu juga organisasi dan partai, kalau ada acara pelatihan atau kepartaian pesan tas ke saya,” tutur ibu dua anak ini.

Banjirnya pesanan tas, membuat keduanya memberanikan diri mempekerjakan karyawan untuk membantu. Itupun kadang kesulitan memenuhi permintaan pasar, terlebih banyak karyawannya yang mendalami tata cara membuat tas selama bersama Fatma dan suami, malah memilih hengkang dan membuka usaha sendiri. “Kalau permintaan pesanan dari pasar, seminggu mencapai 12 lusin untuk satu model, belum lagi pesanan dari dinas-dinas dan lainnya. Dulu karyawan ada lima, mesin ada enam. Tapi, karyawan sudah pandai buat sendiri ya mereka lepas dari kami dan buka usaha yang sama sendiri. Mau bagaimana lagi, itulah risikonya. Kami juga senang bisa menularkan skill ke orang lain agar mereka juga bisa membuka lapangan kerja. Jadinya memang terkesan seperti persaingan bisnis, tapi bagus juga untuk meningkatkan kreativitas kami. Kalau di Medan, saingan bisnis seperti ini sangat banyak. Ya untuk bisa bertahan harus terus berinovasi dalam membuat model dan padu padan bahan baku,” ungkapnya.

Produksi Fatma kian melonjak saat mengikuti berbagai pameran. Diapun mengaku hanya memproduksi sesuai pesanan dan tidak punya stok. Tas-tasnya yang dijual di pasaran dengan kode barang OB alias obral bahkan menarik simpati konsumen dari Malaysia. Para wisatawan ini sering belanja tas di Medan dan mendapati tas-tas Fatma dijual murah dengan desain yang bagus. Banyak konsumen dari Malaysia, Jakarta yang sudah jadi langganannya. “Konsumen kami sudah sampai ke Malaysia. Mereka belanja di toko, begitu juga dari Jakarta, Palembang yang suka beli barang OB, karena katanya kalau di sana (Jakarta) tidak ada tas OB seperti yang saya buat,” bebernya.

Meski sudah banyak pesanan, Fatma mengakui belum bisa menerapkan margin harga jual dan keuntungan yang besar. Harga tas Fatma mulai didrop ke pasar dengan harga Rp25 ribu hingga Rp150 ribu. Keuntungan bisa diraihnya besar tergantung banyaknya pesanan, khususnya dari instansi dan partai. Sedangkan untuk barang yang didrop sesuai pesanan ke pasar omset mencapai Rp6 jutaan. “Omset tergantung pesanan, bisa lebih besar kalau makin banyak yang pesan. Pelanggan dari instansi dan acara partai jika membludak akan sangat mempengaruhi omset,” ungkapnya.

Saat ini, tak banyak kendala yang dihadapi Fatma kecuali harus tetap berinovasi di tengah persaingan pasar, dan mencari bahan baku yang bagus untuk tas tas tersebut. Karena bahan baku tas kantor misalnya harus diimpor dari luar Medan. “Kualitas bahan baku yang ada di Medan kurang bagus, jadi harus cari ke kota lain. Tapi untuk tas-tas lainnya masih bisa menggunakan bahan baku di Medan,” ucapnya.

Fatma mengatakan tetap optimis dengan usahanya ini. Menurutnya, tak semua orang bisa membeli tas branded yang mahalnya dan harganya bisa mencapai ratusan ribu hingga puluhan juta. “Tingkat ekonomi orang berbeda-beda, orang masih bisa bergaya dengan tas-tas bagus dengan harga murah. Selama ini pelanggan saya juga ada yang dari kalangan menengah ke atas. Karena mereka bisa memesan tas sesuai maunya mereka, jadi hasilnya bisa unik,” pungkasnya. (nina rialita)

Tas Kerajinan Fatma
Alamat : Jalan Bajak IV, Gang Perjuangan 1, Kecamatan Medan Amplas
Nomor Telepon : 081264707831

Monang Siagian-Pemilik Rumah Boneka Barbie

Sabar dan kerja keras menjadi modal utama seorang Monang Siagian dalam membangun usaha Rumah Boneka Barbie. Di kawasan Jalan SMA 2, Polonia, Medan, nama usaha Monang sangat dikenal. Bahkan, Monang bisa disebut sebagai satu-satunya pengrajin rumah boneka Barbie yang bertahan di tengah gempuran persaingan mainan anak-anak dengan produksi moderen.

TOSHIBA CAMCORDER

Monang tidak hanya dikenal karena pilihan usahanya, namun juga karena optimismenya dalam menjalani hidup, meski dalam kondisi tidak sempurna. Sejak usia empat tahun, Monang kehilangan kaki kirinya, karena jatuh dari kereta api di Kisaran, Sumatera Utara.

Saat INSPIRASI USAHA menemuinya di tempat usahanya tersebut, Monang sedang duduk sambil mengemas kerupuk kulit. Tongkat yang biasa membantunya dalam beraktivitas diletak di samping kaki kirinya. “Ya beginilah usaha saya. Selain rumah Barbie, saya juga sambil membungkus kerupuk untuk dijual,” ujarnya. Kerupuk yang sudah dibungkus itu dijajakan di depan tempat usaha rumah boneka barbienya.

TOSHIBA CAMCORDER

Rumah boneka Barbie buatannya berbahan baku dari triplek. Dari bahan sederhana ini, Monang mengeluarkan ide kreatifnya dan menjadikan mainan anak-anak yang ekslusif. Warna rumah boneka ini didominasi merah jambu dengan campuran biru dan liris putih. Tidak bertumpu pada rumah boneka, Monang juga membuat perlengkapan rumahnya seperti miniatur kursi, juga tempat tidur dan ada beberapa miniatur bus.

Satu karyanya dihargai mulai Rp300 ribu hingga Rp800 ribu. Mahalnya harga tergantung tingkat kesulitan dalam membuatnya dan tingkat rumah boneka Barbie tersebut. Sedangkan, untuk perlengkapan rumah, satu setnya dijual Rp150 ribu.

TOSHIBA CAMCORDER

Dalam menjalankan roda bisnisnya, Monang dibantu istri dan tiga karyawannya. Produknya ini sudah merambah pasar di seluruh Indonesia dan punya pangsa pasar sendiri. Monang ogah menjajakan karyanya ke mal atau sejenisnya. “Kalau mau beli, langsung kemari saja. Karena kalau diletakkan ke mal biasanya akan dilunasi setelah barang laku, wah nunggu uangnya lama. Bagus seperti ini, beli langsung dan cash,” jelasnya.

Dalam sebulanya, Monangnya bisa memproduksi 30-40 unit. “Jumlah produksi kadang tergantung pesanan. Kalau masa liburan bisa laku lumayan banyak. Bahan bakunya tidak susah didapat, di Medan sangat banyak. Hanya untuk hiasan pinggiran rumah boneka yang masih didatangkan dari Jawa,” tukas bapak dua anak ini.

Monang menjelaskan, membuka rumah boneka Barbie sejak tahun 2002 dengan modal Rp10 jutaan. Kali pertama, Monang sampai membuka tiga cabang, fungsinya hanya untuk promosi. Dua cabang kemudiannya ditutup dan hanya fokus di Jalan SMA 2.

Ini setelah keputusannya pulang ke Medan, pasca-merantau ke daerah lain sejak tahun 1980-an. Pria kelahiran Kisaran 10 Oktober 1962 ini, sejak masih duduk di bangku sekolah dasar sudah merantau ke Pulau Jawa. Dia menyebut langkah tersebut nekat, lantaran masih kecil sangat nakal dan menolak sekolah.

Monang menetap di Cilandak hampir 20 tahun dan hidup dengan berbagai pekerjaan. Termasuk, menjadi ballboy (pemungut bola) cabang olahraga tenis. Siapa sangka, pekerjaan menjadi pemungut bola membawanya menjadi atlet andal. Selepas bekerja tiga shift dalam sehari, Monang membiasakan diri berlatih di lapangan dengan raket pinjaman. “Setelah itu, saya latihan dengan kursi roda. Dan mencoba ikut kejuaraan. Saya membela DKI Jakarta dan menang di Kejurnas Senayan tahun 1988,” kenangnya.

Dari sini, karirnya sebagai atlet terus melambung dan membawanya ke seluruh Indonesia, bahkan luar negeri. Tahun 1995, Monang terbang ke Belanda, setahun berikutnya ke Australia, Inggris, Jepang dan Korea. “Tahun 1997 saya gagal ke Amerika Serikat, karena gagal seleksi di Malaysia,” timpalnya.

Prestasinya tersebut membawa Monang mendapat perbekalan dari seorang temannya yang juga bisnis rumah boneka Barbie. Monang juga dapat pelatihan dari Yayasan Orang Cacat di Jakarta dan mulai membuka usaha rumah boneka Barbie.

Monang pulang kampung ke Medan, di tengah usahanya membangun bisnis ini, Monang mendapatkan tawaran menjadi atlet Sumut dari Gubernur Sumatera Utara, Almarhum Tengku Rizal Nurdin. “Saya dijanjikan bonus dan pekerjaan jika juara. Saya meraih emas di cabang tenis dan perunggu di balap kursi roda. Hanya bonus Rp30 juta yang saya terima, pekerjaan tidak,” tuturnya.

Selepas itu, Monang memutuskan menghentikan karirnya sebagai atlet dan fokus mengembangkan usahanya bermodal bonus dari atlet. Dalam usaha, Monang juga pernah melakoni pekerjaan lain seperti supir taksi. Dia juga mengalami masa terpuruk misalnya kehilangan seluruh barang dagangannya saat dilalap si jago merah. “Dulu bukan di sini lokasi jualan pertama kali (beberapa meter dari lokasinya sekarang). Terbakar, semuanya tak bersisa. Ya ikhlas saja, saya usaha lagi, bangun dari awal lagi dan bertahan sampai sekarang,” ucapnya.

Monang optimis usahanya ini bisa terus bertahan. Selain sudah balik modal, Monang bisa menghidupi keluarganya. Tak heran hampir setiap hari, keluarga Monang yang rumahnya di Pasar VII Marendal, Jalan Sejati, lebih banyak menghabiskan waktu di kawasan Polonia sejak buka pukul 07.00 WIB dan tutup pukul 18.00 WIB. “Saya optimis, karena apa yang saya jual tidak banyak dikerjakan orang lain di Medan. Namanya usaha, selain kerja keras, haruslah sabar. Sabar menanti konsumen dan sabar menunggu barang laku,” pungkasnya. (nina rialita/terbit di Majalah Inspirasi Usaha/Makassar, edisi November 2012)

Rumah Boneka Barbie
Alamat : Jalan SMA 2 (Samping Perumahan Malibu)
Telepon : 081397640232/0852753423

Srikandi Embroidery-Produknya Diminati Pasar Mumbai

Nina-ist-Srikandi-Pak Suwito dapat penghargaan dari Menteri.JPG

Bermodalkan kerja keras, Suwito pemilik CV Srikandi mampu menjawab cibiran teman dan keluarga terdekat tentang pilihan usahanya. Seorang alumni sarjana teknik yang sempat jadi asisten dosen malah memilih melakoni bisnis desain fashion dan bordir hingga produknya diminati pasar Mumbai, India.

Tidak hanya itu, Suwito juga baru saja menerima penghargaan Paramakarya 2012 dari Menteri Tenaga Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Suwito bersama enam lainnya masuk kategori usaha tujuh menengah di Indonesia. Suwito tidak hanya fokus pada pengembangan usaha berbasis profit di Srikandi Embroidery, tapi juga membangun Yayasan Srikandi yang melatih tenaga kerja menjadi terampil dan mampu berusaha sendiri.

Pria berusia 54 tahun ini memulai mandiri berkarir tahun 1985, sebuah masa di mana dia harus bekerja lantaran butuh biaya untuk kuliah. Semester dua kuliah, dia bekerja di kontruksi bangunan gedung dan semester enam menjadi asisten dosen teknik sipil di salah satu perguruan tinggi di Medan hingga tahun 1991.

Di tengah kesibukkannya, bersama sang istri yang juga kuliah sambil bekerja mengajar di sekolah-sekolah, Suwito mencoba melatih di daerah Sunggal. Ini didasari kemampuan istrinya yang memiliki teori ketrampilan namun urung mempraktekkannya. “Saya dan istri ingin bagaimana masyarakat bisa berlatih cepat tepat dalam ketrampilan. Setelah kami rangkum dan kami mengetahui metodenya, dan setelah istri saya melahirkan, dia berhenti bekerja. Dan tahun 1996 kami membangun CV Srikandi. Namun, dalam perjalanannya tidak maju, karena saya masih sibuk kerja di tempat lain. Akhirnya, tahun 1997 saya berhenti kerja total dan fokus di usaha ini,” ujarnya saat ditemui di tempat usahanya Jalan Pintu Air IV Gang Keluarga No 16 Kwala Bekala, Medan.

Nina-Srikandi Bordir (3)(1)

Awalnya, banyaknya pesanan, namun tidak berbuah manis, lantaran Suwito tidak bisa memenuhi orderan. Alhasil, dia membuka lembaga pelatihan gratis, di mana para alumninya di terima bekerja di tempatnya. Baru saja ingin menikmati hasil jerih payahnya, krisis moneter datang tahun 1998, Suwito sempat drop, dari membuka usaha di Cikal Universitas Sumatera Utara harus pasrah tidak di sana lagi. Namun, tidak sampai usahanya hancur, Suwito beruntung masih aktif ikut dalam kerja sama dengan pemerintah, satu diantaranya Program Penanggulangan Pekerja Terampil (P3T). “Sejak itu produk kita eksis. Lalu saya balik kemari (buka usaha di rumahnya). Banyak yang mencemooh dan kurang sreg. Misalnyam alumni sarjana kok usaha ini, apalagi saat itu sedang jatuh bangun,” timpalnya.

Namun, bapak satu putri ini menafikan semua cibiran. Dia tetap mengepakkan sayap, dengan membangun unit usaha lainnya selain CV Srikandi, Yayasan Srikandi, dia membuat koperasi dan asosiasi Srikandi yang ditujukan untuk para alumni yang ikut pelatihan. Untuk pelatihan, Suwito dan istri terus bekerja sama dengan pemerintah. Dia bahkan meminjamkan satu meskin jahit untuk pelatihan baik itu membordir dan sejenisnya di desa dengan target dalam setahun kelompok yang dilatih sudah bisa membeli mesin sendiri. Agar mesin-mesin lain bisa disalurkan ke lokasi lain untuk pelatihan. Total saat ini sudah ada 2000-an yang dilatih dan tersebar di Pulau Sumatera.

Ketrampilan Suwito dan istri dalam membuat bordir, payet, kaftan dan produk sejenis lainnya semakin terasah, apalagi tahun 1987 sudah belajar formal dan sempat mendapatkan pelatihan dari pemerintah ke Australia. Dan juga menerima kesempatan mengunjungi pusat usaha kecil menengah di negeri jiran, Malaysia, Thailand dengan sponsorship Kanwil Koperasi. “Kami melihat usaha kecil di Malaysia, Thailand,

Di lokasi usahanya ada tiga bangunan yang saling berdekatan digunakan dengan delapan pekerja yang membantu. Rata-rata dalam seminggu bisa menghasilkan 72 kebaya, 190 meter renda perhari baju, telekung, seprai, asesoris dan berbagai pesanan lainnya. Ada enam mesin kecil, satu mesin massal dan komputer. Tidak hanya untuk Sumatera, produknya juga diminati pasar Mumbai (dulu disebut Bombai) India. Melalui pihak ketiga, Suwito menerima berbagai orderan. “Bahan dari mereka (pihak ketiga). Pemesan ada keluarga di India yang punya usaha di sana. Jadi mereka rutin memesan ke kami. Rata-rata 200-300 potong bordiran dalam seminggu,” jelasnya.

Saking banyaknya pesananan, pria kelahiran 16 Maret ini tidak sempat memenuhi produksi usahanya. “Kita mengerjakan sampai 2014 sudah penuh orderan. Kami enggak produksi di luar pesanan, karena takut enggak bisa tersanggupi,” tegasnya.

Suwito sudah jatuh bangun dalam berusaha, dia memaparkan semua butuh tekad yang kuat. Dia mencontohkan, awalnya membeli alat jahit secara nyicil. Satu mesin jahit harganya Rp2 juta. “Awalnya kesulitan, karena peralatannya besar. Kami enggak beli sekaligus. Tapi menyicil. Untuk mesin saja Rp2 juta, untuk kain satu gulung ada yang Rp3-5 juta. Ya saya sempat jual aset untuk membangun ini dan pinjam ke bank. Untuk usaha ini banyak habis di gaji karyawan, karena mereka dibayar perminggu,” beber Suwito yang enggan membeberkan omset usahanya ini.

Nina-Srikandi Bordir (1)

Dari tahun 1996, Suwito dan istri baru merasakan usahanya dalam kategori sehat tahun 2006. “Ya sudah dapat tempat kerja atau lokasi usaha yang enak. “Selain sisi bisnis, saya sampai sekarang tetap eksis untuk pembinaan ke masyarakat. Paling enggak walau enggak banyak, tapi sudah bisa membantu masyarakat. Saya juga tanamkan ke anggota saha, kalaupun sarjana jangan berkecil hati untuk usaha ini. Makanya, ada juga yang S2 mau ikut pelatihan,” pungkasnya. (nina rialita/terbit di Majalah Inspirasi Usaha, Edisi Januari 2013)